Hidayatullah.com–Sekitar 5300 tamu dari 95 negara dan ditambah 500 orang dari Guinea Bissau, Afrika Barat diundang secara khusus oleh Raja Salman untuk berhaji tahun ini. Termasuk 40 tokoh Islam berbagai ormas di Indonesia.
Inilah catatan ringkas saya yang ikut dalam rombongan perjalanan haji “Program Tamu Pelayan Dua Tanah Suci Raja Salman bin Abdul Aziz”.
***
Merupakan kesyukuran yang luar biasa, diikutkan sebagai salah satu undangan haji dalam “Program Tamu Pelayan Dua Tanah Suci Raja Salman bin Abdul Aziz”.
Alhamdulillah semua kegiatan ibadah berjalan lancar dan ditanggung oleh pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia (KSA), mulai pengurusan visa, tiket, akomodasi, konsumsi, hadyu tamattu’, kain ihram, hingga kantung kerikil jamarat.
Banyak pelajaran berharga yang didapat dari program ini. Selain bisa melaksanakan ibadah haji, kesyukuran yang tak kalah besarnya adalah dipertemukan dengan para pegiat dakwah, ormas Islam dan akademisi Muslim dari seluruh penjuru dunia dengan pelbagai lintas disiplin ilmu.
Jumlah undangan haji dalam program Tamu Raja Salman tahun ini (1439H) mencapai 5300 orang dari 95 negara. Teknis pelaksanaannya di bawah kementerian Urusan Agama, Dakwah dan Penyuluhan (Wuzarat al-Syu’un al-Islamiyyah wa al-Da’wah wa al-Irsyad). Di antara 5.300 tamu undangan ini terdapat 1.000 orang dari keluarga syuhada’ tentara dan polisi Mesir, 1.500 orang dari keluarga syuhada Yaman dan tentara Sudan, serta 1.000 orang dari kerabat syuhada Palestina. Selain itu, terdapat 1.300 tamu dari 90 negara dan ditambah 500 orang dari Guinea Bissau, Afrika Barat sebagaimana diberitakan oleh harian Youm7 Sina Mesir.
Adapun dari Indonesia, tamu yang diundang sebanyak 40 orang dan mewakili tokoh-tokoh agama, pemikir, akademisi, ormas keagamaan, media dan pemenang lomba hafalan Qur’an dan Hadits. Dari ormas keagamaan antara lain adalah NU, Muhammadiyah, Wahdah Islamiyyah, dll.
Undangan haji dalam “Program Tamu Pelayan Dua Tanah Suci Raja Salman bin Abdul Aziz” merupakan forum yang berkesinambungan yang menggambarkan kesungguhan Kerajaan Saudi Arabia (KSA) dalam memperhatikan tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh dari berbagai negara. Di samping itu, juga dimaksudkan untuk membina kesatuan para pemuka umat dari lintas bangsa.
Saya pribadi mendapatkan manfaat luar biasa dari bertemunya para tokoh dan aktivis dakwah sedunia dalam program yang diinisiasi oleh pemerintah KSA ini. Misalnya di jam makan siang, saya gunakan untuk menambah pengalaman dan berdiskusi dengan sesama tamu undangan dari berbagai negara.

Salah satunya adalah berdiskusi dengan Ustad Eduart Demiraj, seorang mufti dari Albania tentang kondisi dan perkembangan umat Islam di sana. Mufti yang usianya masih relatif sangat muda ini bercerita tentang tantangan dakwah Islam di negaranya.
Hampir selama 30-an tahun, Islam dan atribut keislaman dilarang oleh rezim Komunis. Baru sekitar tahun 1991 an, beriringan dengan tumbangnya rezim Komunis, dakwah Islam mulai bergeliat.
“Umat Islam di Albania menikmati kebebasan beragama sebagai konsekuensi dari paham liberalisme”, tutur mufti yang belum mencapai usia 40 tahun ini.
Namun masalahnya bukan berhenti di sini. Ternyata tidak mudah bagi kaum Muslimin yang taat untuk menduduki jabatan di pemerintahan. Rata-rata pejabat Muslim yang taat beragama masih menyembunyikan keislamannya dan belum berani bawa-bawa Islam ke ruang publik. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya pemuda Muslim yang berperilaku jauh dari nilai-nilai Islam dan bahkan cenderung alergi dengan Islam.
Menanggapi hal ini, saya cuma katakan padanya untuk bersabar dan selalu ingat bahwa dalam mendakwahkan kebenaran (tawasau bil haq) harus diiringi dengan kesabaran (tawasau bis sabr). “Masyarakat Anda masih banyak yang kurang mengerti Islam, ini harus dimaklumi karena Islam di Albania tergolong masih “baru buka”, setelah 30-an tahun ditutup oleh rezim Komunis. Jadi pelan-pelan dulu, karena generasi yang tumbuh saat ini adalah generasi yang dibesarkan dalam rezim Komunis”, kata saya sedikit memberi masukan kepadanya.
Kemudian saya ceritakan bagaimana dakwah Islam dan penyebarannya di Indonesia hingga menjadi agama mayoritas. Semuanya dilakukan tanpa peperangan dan kekerasan. Bahkan unsur-unsur keislaman mengakar kuat dalam budaya dan bahasa Indonesia.

Inilah kecerdasan ulama dan metode dakwahnya yang cemerlang. Kerajaan Hindu dan Budha yang dulunya sangat kuat dan megah di Indonesia, akhirnya runtuh dengan senjata dakwah.
“Melakukan kerja-kerja dakwah berarti kita sedang melakukan kerja-kerja peradaban”. Menanggapi masukan ini, Ustadz Eduart menimpali: “Saya sangat bersyukur atas diskusi yang mencerahkan di meja makan ini.” Lalu kami pun berpisah untuk siap-siap ke Masjidil Haram.
Selain itu, pengalaman yang tidak kalah pentingnya adalah terjalinnya keakraban dan kebersamaan di internal rombongan Indonesia.
Meskipun kebanyakan rombongan adalah pribadi-pribadi yang ditokohkan dalam kepakaran dan komunitas masing-masing, tapi mereka sangat sederhana dan rendah hati.
Interaksi yang intensif selama dua minggu di tanah suci, sangat berperan dalam merekatkan tali ukhuwah para tokoh dan pegiat dakwah, khususnya di internal umat Islam di Indonesia yang rentan dengan perselisihan dan benturan. Terima kasih Raja Salman dan semua pihak yang sudah bekerja keras atas terselanggaranya program ini, juzitum kulla khair.*/Dr Henri Shalahuddin, MIRKH, Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS)