Hidayatullah.com–Pemerintah Arab Saudi secara resmi telah melarang dibukanya bioskop-bioskop umum di kerajaan. Hal itu sebagai tindak lanjut dari protes yang diajukan kepada pemerintah berkenaan dengan dikeluarkannya izin untuk bioskop di penjuru negeri itu.
Menteri Dalam Negeri Pangeran Naif bin Abdulaziz mengambil keputusan itu, setelah mendapat tekanan dari Mufti Arab Saudi Abd Al-Aziz Al-Sheikh agar menetapkan pemutaran film untuk umum ilegal.
Kabar tersebut muncul setelah perdebatan meluas di dalam masyarakat Saudi atas kepemilikan film-film.
Pemerintah telah menunjukkan adanya keinginan untuk mempertimbangkan dibukanya bioskop untuk umum.
“Masalahnya bukan pada pemerintah,” kata Hussam Abu Sabra, CEO dari Donya Film Productions kepada Media Line. “Pemerintah masih berupaya untuk melakukan sesuatu. Masalahnya sebagian orang dalam pemerintahan berpikir film akan merendahkan Islam dan membawa dampak buruk sehingga mereka menolaknya tanpa ada negosiasi.”
“Mereka tidak paham mengapa orang menginginkan bioskop. Film itu baik untuk orang-orang Saudi,” lanjut Abu Sabra. “Orang butuh ‘makanan untuk otak’”
“Tapi sementara waktu ini produsen film tidak ada tempat untuk memperlihatkan hasil kerja mereka,” tambahnya. “Kami hanya bisa memasarkan film ke luar kerajaan.”
Silvio Saadi, CEO dari Silver Grey Picture & Sound, setuju bahwa rintangan mendasar dari perkembangan film di Saudi adalah budaya mereka, bukan kurangnya minat dari pemerintah.
“Pengumuman itu sungguh mengagetkan karena sebelumnya kami sudah mendengar berita positif tentang pembuatan film di kerajaan ini,” kata Saadi. “Masalah yang dihadapi negeri ini bukan kemauan pemerintah, tapi mayoritas masyarakatnya yang tidak mau.”
“Salah satu masalah utama bagi Saudi adalah bioskop yang mencampur laki-laki dan perempuan,” katanya menerangkan. “Di Saudi kita punya restoran untuk laki-laki dan perempuan, tapi dalam bioskop kita melihat laki-laki dan perempuan masuk ke ruangan gelap yang sama dan berkumpul bersama di dalamnya.”
Perusahaan film Sauadi adalah perusahaan film pertama di kerajaan Saudi. “Dulu ada 8 atau 9 bioskop–yang kemudian semuanya ditutup,” katanya. “Kami memulai perusahaan pembuatan film ketika tidak ada seorang pun yang berani melakukannya.”
Saadi mengatakan, negeri itu menunjukkan langkah kecil untuk mewujudkan pertunjukan di bioskop.
“Beberapa tahun belakangan telah banyak dilakukan dialog apakah pemerintah akan memberikan izin lagi,” katanya. “Beberapa bulan lalu saya mendengar pemerintah telah mengeluarkan izin untuk sebuah bioskop di sebuah mall di Jeddah. Dan tahun lalu kami diminta oleh Perpustakaan Raja untuk membuat 2 buah film IMAX panjang, yang kami ambil di Saudi sini. Sekarang ini hanya ada satu teater IMAX, yaitu di komplek ARAMCO di propinsi sebelah timur, dan Raja memerintahkan untuk dibuka lagi 2 teater IMAX di 2 propinsi lain, di dalam komplek tertentu.”
Kebanyakan perusahaan pembuatan film memusatkan usaha mereka memproduksi program televisi, iklan, dan film dokumenter.
“Kami bekerja untuk Kementerian Kesehatan, Komisi Pariwisata Saudi, dan perusahaan swasta,” kata Saadi. “Masalah yang ada di Saudi hanyalah membuat film feature, karena kami tidak bisa menghasilkan uang dari sana.”
“Bagi produser, hal itu sangat menyebalkan,” katanya. “Tidak ada yang bisa diperbuat.”
Meskipun ada pembatasan bagi insan film Saudi, di negara itu terdapat Rotana, perusahaan pembuat film terbesar di Timur Tengah, dan para pengamat industri mengatakan, lusinan film Saudi telah ditayangkan di berbagai festival film internasional.
“Kita memiliki banyak orang yang tertarik pada perfilman dan ada banyak film pendek yang dibuat oleh sutradara Saudi,” kata Ahmed Al-Omran, seorang blogger Saudi yang berpengaruh kepada Media Line. “Banyak yang menampilkan keindahan dan tidak ditayangkan di tempat umum. Tapi itu hanya masalah waktu sampai nanti kita punya bioskop film yang layak.”
Penayangan iklan pertama dari sebuah film Saudi dalam 30 tahun terakhir dilakukan bulan lalu dan disambut dengan kemeriahan. “Itu merupakan penayangan khusus di sebuah pusat kebudayaan,” kata Al-Omar. “Orang-orang bisa pergi dan membeli tiket untuk melihat sebuah film, tapi hanya sekitar seminggu saja.”
Meskipun ada protes dari orang-orang yang menentangnya hingga turun ke jalan, sebagaimana dilaporkan, ada ribuan orang telah datang ke pusat kebudayaan itu untuk menonton film. [di/ml/hidayatullah.com]