Hidayatullah.com–Dr. Najih Ibrahim, salah satu tokoh JI (Jama’ah Islamiyah) Mesir menulis sebuah artikel yang diterbitkan oleh situs berita harian Mesir Al Yaum As Sabi’ (21/2/2012). Dalam tulisan itu, Najih mengisahkan kunjungan Dr. Yusuf Al Qaradhawi ke Indonesia pada tahun 70-an. Saat kunjungan itu, beberapa orang Indonesia menyampaikan keluhan bahwa para ulama Indonesia mewajibkan zakat untuk pertanian padi yang kebanyakan dilakukan oleh rakyat kecil. Sedangkan untuk orang-orang kaya yang menanam karet tidak terkena kewajiban zakat.
Ulama Indonesia yang kebanyakan bermadzhab Syafi’i memang tidak berpendapat bahwa karet masuk ashnaf zakat demikian pula jumhur ulama. Namun Syeikh Al Qaradhawi menyampaikan bahwa perkebunan karet pun terkena zakat, sesuia dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Para penanya pun puas dan bergembira dengan jawaban itu. Dari sini bisa dibandingkan bagaimana Al Qaradhawi berpendapat dan bagaimana pula para ulama Indonesia
Dr. Najih setelah menyampaikan kisah itu menjelaskan bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah ulama dan da’i yang memiliki jeda antara buku salaf yang mereka baca dengan fatwa, untuk melihat kondisi masyarakat. Dan menjama’ secara shahih antara nash dan kondisi merupakan masalah yang dihadapi para dai di masa ini. Tidak hanya di Mesir, di negeri Muslim lainnya juga terdapat problem yang sama.*