Hidayatullah.com—Parlemen Afghanistan hari Sabtu (4/7/2017) menolak calon menteri pertahanan yang diajukan oleh Presiden Ashraf Ghani. Padahal, pos menteri yang sangat penting itu berbulan-bulan sejak pemerintahan baru Afghanistan terbentuk hingga sekarang masih kosong.
Akhir Mei presiden mengajukan nama Mohammad Masoom Stanekzai, seorang pejabat penting dalam lembaga pemerintah yang bertugas mengawasi proses perdamaian di negeri itu, untuk memimpin kementerian pertahanan.
Stanekzai membutuhkan 107 suara mendukung dari parlemen. Tetapi dia ternyata hanya berhasil medapatkan 84 suara dari 213 anggota parlemen yang menggunakan hak pilihnya. Akhirnya, hingga bulan kesepuluh ini belum ada orang yang terpilih sebagai menteri pertahanan.
“Masoom Stanekzai sayangnya tidak mendapatkan suara dukungan dari majelis rendah parelemen,” kata jurubicara majelis rendah Abdul Rauf Ibrahimi, kata peserta sidang hari Sabtu seperti dikutip AFP.
Orang yang diajukan oleh Presiden Ghani sebelumnya untuk menjabat menteri pertahanan, mantan kepala staf AD Sher Mohammad Karimi, juga tidak mendapatkan restu yang cukup dari majelis rendah parlemen Afghanistan.
Berlarut-larutnya pemilihan menteri pertahanan tersebut kabarnya disebabkan oleh perbedaan pendapat antara Ghani dengan kepala eksekutifnya, Abdullah Abdullah.
Abdullah merupakan rival Ghani dalam pemilihan presiden. Abdullah sebenarnya unggul mutlak dalam putaran pertama. Namun anehnya, dalam pilpres putaran kedua dia justru kalah dari Ghani yang mendapatkan restu dari Amerika Serikat sebagai pengganti Hamid Karzai, yang dipandang sebagian kalangan sebagai boneka Washington. Pengamat internasional yang mengawasi pemilu sendiri mengakui banyak terjadi kecurangan dalam proses pemilu yang sulit diatasi. Oleh karena Abdullah banyak mendapatkan dukungan cukup banyak dan kuat dari sebagian tokoh-tokoh masyarakat dan kepala suku di Afghanistan dan untuk mencegah konflik lebih jauh, Abdullah akhirnya diberi kedudukan sebagai kepala eksekutif, sebuah jabatan yang sebenarnya tidak ada dalam sistem pemerintahan Afghanistan, dan juga tidak dikenal dalam sistem pemerintahan yang biasa dipakai negara di seluruh dunia. Kompromi itu pun dicapai atas campur tangan Washington.
Posisi menteri-menteri lainnya juga baru mendapatkan persetujuan parlemen setelah berbulan-bulan tertunda. Tetapi, tidak selama seperti dalam kasus menteri pertahanan ini.*