Hidayatullah.com–Seorang mahasiswi kedokteran asal Australia mengungkapkan bahwa ia dan ibunya diusir dari sebuah pantai di kawasan Riviera, Prancis, karena mengenakan pakaian renang tertutup, atau yang juga dikenal dengan burkini.
Zeynab Alshelh, seorang mahasiswa kedokteran nerusia 23 tahun mengatakan kepada media Australia, dia sengaja melakukan perjalanan ke Eropa untuk menunjukkan solidaritas kepada perempuan Muslim di sana.
Rekaman yang disiarkan di Sunday Night di Channel 7 menunjukkan masyarakat setempat di pantai itu mengatakan mereka akan memanggil polisi jika Alshelh tidak meninggalkan pantai, demikian dikutip BBC, Senin (19/09/2016).
“Saya ingin melihatnya sendiri, saya ingin melihat apa yang terjadi di sini? Mengapa hal ini terjadi?” katanya, menambahkan bahwa dalam pandangannya, larangan itu “konyol, hal itu tidak masuk akal bagi saya, ” ujar Zaenab dikutip CNN.
Didampingi oleh seorang kru TV, Alshelh mengunjungi pantai Villeneuve-Loubet, salah satu pantai di mana larangan burkini baru-baru ini dicabut.
Namun, ia beserta ibu dan ayahnya tidak dapat menikmati indahnya laut biru dan hangatnya siraman matahari dari tepi pantai, setelah warga lokal memberitahu bahwa mereka tidak diterima di pantai itu.
Rekaman yang disiarkan pada program Sunday Night di Channel 7 memperlihatkan para pengunjung pantai lainnya menatap keluarga dari Australia itu. Beberapa pengunjung bahkan mengacungkan ibu jari ke bawah, tanda ketidaksukaan mereka, sementara satu pengunjung lain kemudian mendekat dan secara langsung memprotes Alshelh dan keluarganya.
“Kami diancam oleh penduduk setempat untuk meninggalkan pantai. Jika tidak, mereka akan menelepon polisi. Mereka tidak senang kami berada di sana,” ujarnya.
Prancis Larang Burkini, Skotlandia dan Kanada Justru Bolehkan Polwan Berjilbab
Hingga saat ini, sudah lebih dari 30 pantai di Prancis, sebagian besar di sepanjang pantai tenggara, memberlakukan larangan burkini sejak awal musim panas lalu. Larangan ini diberlakukan menyusul serangan teror truk bertepatan dengan hari nasional Prancis, Bastille Day, yang menewaskan 86 orang.
Pihak berwenang di Nice berpendapat bahwa Burkini “secara terang-terangan menunjukkan keyakinan sebuah agama, yang dapat diartikan bahwa sang pemakai merupakan seorang fundamentalis agama.” Hal ini dinilai berlawanan dengan sistem sekularisme yang dianut Prancis. Menurut otoritas Nice, pelarangan semaca itu dibenarkan karena warga di wilayah itu masih trauma dengan serangan teror truk tersebut.
Alshelh menegaskan kepada Channel 7 bahwa “seharusnya tidak ada hubungan antara terorisme dan burkini, tidak ada hubungan antara terorisme dan Islam, sama sekali.”
Sebelum ini, karangan burkini di beberapa kota Riviera Prancis telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung Prancis, pada bulan Agustus.
Desainer Muslim asal Australia, yang juga perancang burkini pertama kali, Aheda Zanetti, sebelumnya sempat mengatakan kepada CNN bahwa ia geram baju renang yang ia rancang “disalahartikan.” Padahal, ia merancang pakaian renang semacam itu untuk tujuan positif, agar para wanita yang tak ingin bagian tubuhnya terlihat dapat berenang secara leluasa.
Alshelh mengaku sedih, dan menilai bahwa larangan burkini hanyalah awal dari diskriminasi terhadap Muslim.
“[Diskriminasi] ini dimulai di pantai, dan hanya Tuhan yang tahu kapan akan berakhir,” ujarnya.
Sebelum ini, Selasa (23/08/2016), laman dailymail.co.uk mengunggah foto-foto aparat yang memperlakukan para Muslimah saat berjemur dan berenang di pantai.
Empat aparat kepolisian berbadan kekar mendatang wanita Muslim dan meminta menanggalkan pakaian. Kejadian ini menjadi lelocon di berbagai belahan dunia, bagaimana sikap rasis bagi bangsa yang selama ini bangga menyebut dirinya sebagai Negara sekuler.*