Hidayatullah.com—Seorang pria yang memukuli istrinya, tetapi hanya meninggalkan bekas berupa lebam atau lecet, tidak akan lagi dinyatakan melakukan tindak pidana di Rusia, dan dianggap hanya melakukan pelanggaran administratif.
Dilansir Deutsche Welle, hari Jumat (27/1/2017) majelis rendah parlemen Rusia, Duma, meloloskan rancangan undang-undang yang dikenal sebagai “hukum tamparan” itu. Jika majelis tinggi dan Presiden Vladimir Putin setuju, maka kekerasan ringan dalam rumah tangga akan menghadapi konsekuensi ringan.
Termasuk yang menggodok RUU itu adalah Yelena Mizulina, seorang anggota parlemen dari Partai Rusia Adil yang dikenal kuat pandangan konservatifnya.
Mizulina melihat “tamparan”sebagai tindakan edukatif dan ingin memberatas ketidaksetaraan hukum. “Jika seseorang menampar seorang anak yang sulit diatur, dia terancam satu atau dua tahun penjara.” kata Mizulina dalam rapat di parlemen awal Januari. “Tetapi jika seorang tetangga yang melakukannya, dia hanya terancam pelanggaran administratif.”
Pegiat HAM Anna Rivina, pimpinan proyek anti kekerasan Nasiliju.net, mengatakan ada alasan bagus untuk ketidaksetaraan seperti itu. “Dalam hubungan di antara anggota keluarga, keadaannya lebih sulit bagi korban dibanding jika kekerasan itu terjadi di jalanan (luar rumah, red),” ujarnya. “Ketika kekerasan datang justru dari anggota keluarga, orang tidak bisa begitu saja pulang ke rumah dan bersembunyi,” imbuhnya.
Istilah “kekerasan domestik” atau “kekerasan dalam rumah tangga” dipakai luas di dunia Barat, tetapi tidak ada istilah itu dalam hukum di Rusia, meskipun fenomena tersebut banyak terjadi di negara itu. Sekitar 40 persen dari semua pidana serius terjadi di lingkungan keluarga, kata Rivina, mengutip data statistik dari kepolisian. Pada 2013 saja, sekitar 9.100 perempuan meninggal dunia di Rusia akibat KDRT. Sebanyak 11.300 lainnya mengalami luka serius. Itu hanyalah puncak dari gunung es, kata Rivina.
Seorang wanita yang berharap identitasnya tidak diungkap mengatakan kepada Deutsche Welle bahwa dia sendiri pernah mengalami KDRT. “Saya menelepon polisi dalam banyak kesempatan jika suami saya yang mabuk memukuli saya atau anak-anak kami,” kata wanita itu. “Setiap kali, pada akhirnya saya membuat pernyataan tidak akan menuntut pidana.” Wanita itu beralasan, dirinya sengaja melibatkan polisi agar suaminya segera menghentikan kekerasan yang dilakukannya. Menurutnya, UU yang baru itu tidak akan mengubah keadaan keluarganya.
Namun, bagi Natalia Nusinova dari Moskow perundangan baru itu akan membawa perubahan. Pada 2014, pria yang tinggal satu rumah dengannya memukuli dirinya. Pria itu mengancam akan melemparnya keluar jendela apartemen mereka yang terletak di lantai atas. Saat dia membela diri dengan senjata pisau, pria yang menyerangnya itu terluka. Sekarang wanita itu menghadapi dakwaan pidana dengan ancaman hukuman 10 tahun. Nusinova berharap UU yang baru akan lebih keras terhadap pelaku KDRT dan lebih melindungi korban.*