Hidayatullah.com—Amnesty Internasional mengumumkan, kebijakan Pemerintah Myanmar yang membatasi populasi etnis Rohingya bepergian, ke rumah sakit dan mendapatkan hak pendidikan bisa masukan sebagai tindakan apartheid di Afrika Selatan.
Organisasi hak asasi manusia internasional ini mengatakan hal ini melalui sebuah kajian dua tahun untuk menemukan penyebab utama krisis hingga menyebabkan 620.000 pengungsi Rohingya itu melarikan diri ke Bangladesh dan negara-negara tetangga lainnya.
“Pihak berwenang Myanmar memisahkan dan menggiring wanita, laki-laki dan anak-anak Rohingya sistem apartheid yang tidak manusiawi,” kata Anna Neistat, kata Direktur Riset Amnesty International.
“Sistem ini tampaknya dirancang untuk membuat kehidupan warga Rohingya tidak berdaya dan mempermalukan mereka,” katanya sebagaimana dikutip ABC.
Dalam laporan setebal 100 halaman tersebut menyatakan bahwa kekerasan dan penindasan oleh militer Myanmar terhadap etnis Muslim Rohingya dengan jelas menunjukkan bahwa pihak berwenang telah melakukan kejahatan hak asasi manusia seperti kebijakan apartheid.
Baca: Amnesty Internasional: Myanmar Lakukan Pelanggaran HAM Serius
Awalnya, Myanmar dan Bangladesh setuju untuk mengirim beberapa pengungsi Rohingya ke markas mereka, namun kepala militer negara tersebut menolak persetujuan tersebut karena tidak mungkin pemerintah Myanmar dapat menerima masuknya mereka.
Warga Rohingya yang ingin pergi bepergian ke kota atau desa lainnya haruslah mengajukan izin, membayar biaya dan risiko penggeledahan di pos pemeriksaan, dimana Polisi Penjaga Perbatasan (BGP) memperlakukan mereka sebagai “mesin uang berjalan”.
“Saat melakukan penelitian untuk laporan ini, Amnesty International melihat langsung seorang penjaga perbatasan menendang seorang pria Rohingya di sebuah pos pemeriksaan,” kata laporan tersebut dikutip ABC.
“(Amnesty) mendokumentasikan setidaknya satu eksekusi di luar hukum, ketika petugas BGP menembak mati seorang pria berusia 23 tahun yang bepergian saat jam malam,” tambahnya.
Etnis Muslim Rohingya dilarang mengakses rumah sakit terbaik negara bagian di Sittwe, kecuali dalam kasus yang sangat akut, demikian ditambahkan dalam laporan tersebut.
Baca: Amnesty Internasional: Diskriminasi atas Etnis Muslim Rohingya Akar Kekerasan di Myanmar
Di beberapa pusat kesehatan yang menerima warga Rohingya, Amnesty mengatakan mereka dirawat di “bangsal Muslim” dan sering dipaksa membayar suap untuk memanggil anggota keluarga atau membeli makanan dari luar.
Sementara itu, pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi terus mendapat tekanan dari para pemimpin Eropa mengenai krisis tersebut, dan sebaliknya menerima dukungan dari Pemerintah China.
Baru-baru ini, Pejabat Myamnar termasuk Suu Kyi, bertemu dengan para pemimpin Eropa di Naypyidaw pada hari Selasa.
Beberapa pejabat Eropa sebelumnya telah mengunjungi kamp-kamp pengungsian di perbatasan Bangladesh.
Baca: Amnesty International Punya Bukti Citra Satelit Pembakaran Kampus Muslim
Suu Kyi menyatakan berharap untuk mencapai kesepakatan dengan Bangladesh mengenai bagaimana cara untuk mengembalikan orang-orang Rohingya.
“Kami berharap hal ini akan menghasilkan MOU yang segera ditandatangani, yang akan memungkinkan kita untuk memulai mengembalikan semua orang yang melintasi perbatasan secara sukarela dan aman,” kata Suu Kyi.
Kelompok HAM yang berbasis di London telah mendesak melakukan embargo senjata terhadap Myanmar, sanksi dan upaya memastikan bantuan internasional tidak disalurkan ke proyek yang diskriminatif.
Meskipun Rohingya telah menjadi korban penganiayaan selama beberapa dekade, laporan tersebut menunjukkan bahwa kelompok etnis tersebut terus mengalami tekanan setelah kerusuhan yang melibatkan penduduk setempat dengan komunitas Muslim di tahun 2012, tulis AFP.*