SEMBURAT mentari pagi masih lembut menyapa pucuk-pucuk gedung di Kota Baku Azerbaijan, sekitar pukul 07.00. Deretan pohon cemara di antara trotoar lebar bergoyang-goyang.
Bangunan kotak-kotak coklat muda itu tersepuh sinar mentari.Daun-daun berserakan di awal musim gugur.
Jalanan masih lengang, namun mobil van putih itu sudah mengerem hebat di depan tempat tinggal kami, di Kazim Kazimzade Street 118-560, AZ1000, Baku.
Baku adalah Ibu Kota Azerbaijan.Lokasinya di tepian Laut Kaspia, danau terbesar di dunia.
Saya sendiri berkesempatan mendapat undangan dari Kedutaan Besar Azerbaijan di Indonesia untuk pelesir ke The Land of Fire (Negara Api) ini, karena paper yang saya tulis berjudul Islamic Architectural Heritage of Baku City bersamaan dengan pertemuan para muda-mudi dari 15 negara berpenduduk muslim.
Baca: Cerita Dubes Azerbaijan, dari Konflik Armenia hingga Mangga Terenak di Dunia
Mengapa Azerbaijan disebut Negara Api? Karena memang julukan Azerbaijan adalah ‘’ atau negara api. Di kaos para pemain Atletico Madrid kita sering lihat tulisan Negara Api ini, karena Azerbaijan memang sebagai sponsor utama. Tapi Negara Api ini bukanlah Konohagakure di Naruto.
Ilham Ayatullah, kawan saya yang juga ikut berpelesir dan menulis paper tentang minyak mengatakan, di Azerbaijan lah, pengeboran minyak pertama itu terjadi.
Intinya, negeri ini kaya akan minyak, gas dan emas, karenanya tak heran disebut Negara Api.
Pagi itu, dari dalam van yang menjemput kami, keluar sosok orang berparas Eropa Timur- Rusia, badannya tinggi besar.Emil namanya.Saya panggil dia Kang Emil, karena dia bisa bahasa Indonesia.
Emil adalah staf kedutaan besar Indonesia di Kota Baku. Pagi-pagi sekali, dengan wajah kuyu seperti yang kurang tidur, ia datang menjemput saya dan empat delegasi Indonesia lainnya.
“Bagaimana kabarnya?” tanyanya sambil menyodorkan tangan.Bahasa Indonesianya lancar.Kalau ditanya jawabnya mengeles,”dikit-dikit,” padahal cukup lancar.
Azerbaijan, yang kesohor merupakan negara Eropa Timur, berpenduduk mayoritas Muslim dengan sistem pemerintahan republik sekular.
Saya sendiri tak tahu banyak tentang Azerbaijan, sampai 10 menit kemudian, van putih yang dikemudikan Emil melesat membelah jalanan lengang Baku dan tiba di gerbang Kedutaan Indonesia di kawasan 80 akademik həsən əliyev küçəsi, Akademik Həsən Əliyev Küçəsi, Kota Baku.
Seperti halnya bangunan kedutaan Indonesia di sebagaian negara Eropa, atapnya tampak dari depan perisai, dengan langit-langit tinggi. Kolom besar dan tangga mengantarkan kami ke ruang tamu.Lantainya kayu, berlapis karpet.Ada wayang, angklung, juga bendera Indonesia, tak ada symbol-simbol yang menunjukkan Indonesia mayoritas Muslim.
Kami disambut oleh Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan, Dr. Husnan Bey Fananie dengan sangat hangat. Nama belakang ‘Fananie’ mengingatkan kunjungan saya ke Pondok Pesantren Darusallam Gontor, salah satu Trimurti Pendiri Gontor : KH Zainuddin Fananie, kakak beradik dengan KH Imam Zarkasy dan KH Ahmad Sahal.
“KH Hasan Sahal (Pimpinan Pondok Modern Gontor sekarang, red) ua’ saya,” katanya dengan logat Sunda.
Rupanya, Dubes adalah cucu pendiri Pondok Gontor sekaligus alumninya.
Baca: Muslim Azerbaijan Kembali Desak Pencabutan Larangan Jilbab
Perbincangan kami semakin hangat, karena Dubes Husnan Bey yang sudah satu setengah tahun bertugas di Azerbaijan banyak mendapatkan kisah dan literatur tentang Azerbaijan.
“Jadi nulis naon jang?” tanya Pak Dubes pada saya. Karena saya ‘Urang Sunda’, dan juga kawan saya, maka awalnya saya jawab dengan Bahasa Sunda. Tapi rupanya takut roaming bersama yang lain, saya jelaskan saja Bahasa Indonesia.
Beliau manggut-manggut.“Sudah pernah ke Azerbaijan?”
“Belum,” serentak kami berlima: Saya, Dr. Sofwan dari Kemenpora sekaligus Ketua Delegasi Indonesia, Mandassari Ghassani (Pengajar sekaligus Mahasiswa S2 UIN SGD), Nurul Fajriah Ramadhan (Mahasiswa HI UIN SGD), Ilham Ayatullah (Pengajar Ponpes Fathan Mubina).
“Karena itu saya penasaran, belum pernah ke sini tapi nulis tentang Azerbaijan.Saya pikir saya harus ketemu ini,” kata Pak Dubes terkekeh.
“Kami juga ingin banget ketemu Pak Dubes,” kata Dr. Sofwan.
Saya bercerita tentang sejarah dan arsitektur dari masa ke masa di wilayah lembah dan pegunungan Kaukasus (saat ini Georgia, Armenia, Rusia, Azerbaijan mengular sampai ke Finlandia). Beruntung saya dulu mendapat mata kuliah Arsitektur Islam dari Dr. Bambang Setia Budi di ITB. Sehingga sedikit tahu sejara perjalanan arsitektur di negeri-negeri berpenduduk Muslim.
Setelah Islam masuk, langgam arsitektur Arab, Dinasti Saljuk, Turki Utsmani hingga Safawi menghiasi penjuru Azerbaijan, pun dengan arsitektur pasca modern, arsitek perempuan kesohor Zaha Hadid dengan mahakaryanya hadir di Baku, Heydar Aliyev Center.
“Dia satu-satunya arsitek yang merancang tanpa sudut dan bangunannya terus mengalir,” kata Pak Dubes mengomentari almarhumah Zaha Hadid.Ketika membincang minyak, Pak Dubes bilang, bahwa hubungan Indonesia dengan Azerbaijan sangat erat di bidang perdagangan migas.
“Baku ini, Minyaknya the Sweet Oil, Mazud oil. Azerbaijan termasuk negara ketahanan energi kita, Indonesia mengimpor banyak minyak dari Azerbaijan,” kata Pak Dubes.
Perbincangan semakin hangat karena kami diajak menikmati jamuan sarapan mie, sop sapi hingga buah manga yang mengisi perut yang mulai keroncongan.
“Tau kenapa Azerbaijan disebut land of fire?” tanya Pak Dubes.
“Di sini sangat banyak emas dan api karena gas. Bagi orang sini, dulu, api dan gas itu mulia, bahkan akhirnya dituhankan. Muncul agama yang disebutkan dalam al-Qur’an. Agama Majusi atau kita kenal Zoroaster,” kata Pak Dubes.
Zoroaster, kata Pak Dubes yang juga master bidang teologi jebolan RijksUniversiteit Leiden, merupakan salah satu agama tertua di dunia.
“Karena gas dan minyak, negeri ini disebut land of fire,” tambahnya.
Tepat 24 September tahun ini, hubungan Indonesia- Azerbaijan sudah terjalin 25 tahun. Sebelumnya, negeri ini telah dihuni oleh pelbagai peradaban seperti Kaukasus Albania kuno, Roman Empire, Parsia Darius, Arab, Saljuk, Persia, Tsar Rusia dan baru 25 tahun lalu baru lepas dari rezim Komunis Uni Soviet.
“Mereka selalu mengatakan one nation two countries, antara Azerbaijan dengan Turki,” cerita Pak Dubes. Katanya, tahun 1990, sepenggal 20 Januari, tentara Uni Soviet membantai warga Baku karena ingin memerdekakan diri dari rezim Komunis Uni Soviet. Peristiwa itu kelak kesohor dengan Black September.
“Turki membantu mengirim tentara melawan tentara merah Soviet,” kata Pak Dubes. Apakah Turki datang untuk menjajah? Atau merampas ?
“Tidak sama sekali,” lirih pak Dubes pelan. “Turki membantu hanya karena mayoritas Muslim. Itulah mengapa ada istilah one nation two countries, saking utang budinya mereka terhadap Turki,” kenang Pak Dubes.
“Mereka bilang Turki lebih dari saudara kita.Turki adalah Sangaras, (saudara dekat saya), itu julukan untuk Turki,” kata Pak Dubes. Lalu apa julukan untuk Indonesia?
“Saya datang 2016 juga, saya bilang nggak cuman Turki dan Azerbaijan, yang jauh di sana, itulah Indonesia, saudara muda, negara dengan penduduk muslim mayoritas dan terbesar di dunia. Saya katakan ‘one nationthree countries,” kata Pak Dubes sambil tersenyum.*>>>>> klik (Bersambung)..