Hidayatullah.com—Mahkamah Kejahatan Internasional telah menahan seorang pria Mali tersangka perusakan situs Warisan Dunia UNESCO di Timbuktu serta perbudakan seks.
Al Hassan Ag Abdoul Aziz Ag Mohamed Ag Mahmoud, 40, diduga kepala de facto polisi Syariah di Timbuktu dari tahun 2012 sampai 2013. Dia dituduh menghancurkan monumen kebudayaan dan menerapkan kebijakan yang menggiring pada perbudakan seksual kaum Hawa.
Hari Sabtu (31/3/2018), pengadilan di Den Haag itu menuding Hassan berpartisipasi dalam kebijakan kawin paksa dengan korban para perempuan penduduk Timbuktu dan memimpin derkosaan berulang dan perbudakan seksual wanita dan anak perempuan.
Penahanannya “mengirimkan pesan kuat kepada semua orang, siapapun mereka, yang melakukan kejahatan yang sangat mencengangkan bagi kemanusiaan, dan bahwa kantor saya bersikukuh menjalankan mandat yang diberikan,” kata kepala jaksa penuntut Fatou Bensouda seperti dilansir DW.
Hassan adalah orang kedua yang ditangkap dalam kasus perusakan situs peninggalan dunia yang dilindungi UNESCO di Timbukti.
Ahmad Al-Faqi Al-Mahdi, seorang pelaku lain, sudah divonis hukuman 9 tahun penjara pada 2017 karena partisipasinya dalam perusakan mausoleum-mausoleum di Timbuktu. Dalam kasus Ahmad Al-Faqi, ICC dikritik karena gagal mengungkap kasus lain yang berkaitan dengan terdakwa.
Dalam kasus kedua ini, jaksa mengatakan memiliki cukup bukti untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan atas nama Hassan, dengan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk “penyiksaan, pemerkosaan dan perbudakan seksual, persekusi atas penduduk Timbuktu dengan dasar agama dan gender, serta kejahatan lainnya.
Kota Timbuktu, di bagian utara Mali, didirikan antara abad ke-5 dan ke-12 Masehi oleh suku Tuareg. Kota itu dijuluki “kota 333 orang suci” karena banyaknya tokoh Muslim yang dikuburkan di sana.
Pada masa kejayaannya di abad ke-15 dan ke-16 Masehi, Timbuktu merupakan kota pusat ilmu Islam, disamping juga menjadi kota perdagangan internasional.
Beberapa kelompok Muslim bersenjata menduduki berbagai daerah di Mali bagian utara awal 2012. Mereka menerapkan aturan yang keras, termasuk menghancurkan bangunan makam dan masjid yang dianggap telah menjadi tempat pemujaan.*