Hidayatullah.com—Swedia hari Sabtu (30/6/2018) mulai memberlakukan undang-undang yang menyatakan bahwa hubungan seks yang tidak menunjukkan pelakunya suka sama suka berarti pemerkosaan, meskipun tidak dilakukan di bawah ancaman atau kekerasan.
Pemerintah Swedia, yang mengusulkan undang-undang itu pada tahun 2017, menjelaskan bahwa legislasi hubungan seks konsensual (suka sama suka) berdasarkan pada fakta bahwa aktivitas itu harus dilakukan secara sadar dan sukarela, jika tidak dilakukan demikian berarti itu merupakan tindakan kriminal.
Negara Skandinavia itu, yang sudah memiliki banyak peraturan hukum berkaitan dengan serangan seksual, juga menaikkan batas atas hukuman “pemerkosaan berat” dan “pemerkosaan berat terhadap anak-anak” dari empat tahun menjadi lima tahun penjara, lapor RT.
Menurut data resmi terbaru sekitar 7.000 kasus serangan seksual dilaporkan terjadi di Swedia pada 2017, atau naik 10% dari tahun 2016.
Swedia juga menambahkan dua macam serangan seksual, yaitu ‘pemerkosaan karena kealpaan’ dan ‘pelanggaran seksual karena kealpaan’, atau dengan kata lain pelaku tidak sadar atau lalai bahwa tindakannya termasuk tindak kejahatan seksual. “Setiap orang harus waspada akan risiko bahwa orang lain tidak berpartisipasi secara sukarela tetapi masih saja melakukan tindakan seksual dengan orang itu,” bunyi peraturan baru tersebut. Pelakunya terancam hukuman maksimal 4 tahun penjara.
Undang-undang baru itu mendapat kritikan dari Asosiasi Pengacara Swedia. Desember tahun lalu sekjen organisasi itu, Anne Ramberg, mengatakan bahwa legislasi tersebut tidak meringankan beban untuk mengumpulkan bukti-bukti bahwa tindak pidana pemerkosaan telah terjadi. UU baru itu justru dianggap semakin membebankan, karena juga harus membuktikan niatan atau hajat seseorang yang sifatnya abstrak, tidak berwujud.
Dengan UU baru itu Swedia menjadi negara kesepuluh di Eropa (England, Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara dihitung sebagai negara terpisah) yang menyatakan bahwa hubungan seks tanpa didasari suka sama suka merupakan pemerkosaan.
Amnesty International mengatakan korban pemerkosaan sering kali tidak berkutik di depan aparat hukum ketika ditanya mengapa mereka tidak melawan ketika dicabuli, sementara korban sering kali berada dalam posisi tidak mampu untuk melakukan perlawanan ketika seseorang memaksakan hasrat seksualnya terhadap dirinya.*