Hidayatullah.com—Pemerintahan Qatar mengaku tidak bermaksud meningkatkan krisis berkepanjangan dengan Uni Emirat Arab (UEA), tetapi penting baginya untuk menggunakan cara-cara hukum untuk memperbaiki kerugian yang ditimpakan pada warganya akibat boikot yang diambil oleh UEA, ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Urusan Lolwah al-Khater mengatakan.
Dalam sebuah wawancara dengan Anadolu Agency di Doha, al-Khater menyinggung keluhan yang diajukan oleh Qatar terhadap UAE dalam Mahkamah Internasional PBB (ICJ—International Court of Justice). Pengadilan mengeluarkan keputusan sementara atas pengaduan pada hari Senin.
Dia mengatakan UAE tidak terlibat dengan Qatar dalam negosiasi diplomatik mengenai keluhan ini.
“Doha telah bekerja untuk menemukan solusi diplomatik, namun mereka belum berhasil, oleh karena itu telah memutuskan untuk bergerak dalam arah hukum paralel tetapi (Qatar) tetap terbuka untuk rute diplomatik,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Lolwah al-Khater dikutip gulf-times.
ICJ terdiri dari 15 hakim dan merupakan bagian dari Dewan Keamanan PBB. Misi pengadilan adalah untuk meninjau perselisihan antar negara atau dapat selesaikan oleh badan PBB, katanya.
Al-Khater mengatakan Qatar mengajukan pengaduan pada 11 Juni 2018 melawan UAE untuk perlakuan diskriminatif terhadap warga negara Qatar.
Menanggapi pertanyaan apakah ICJ mengikat, al-Khater mengatakan keputusan itu mengikat karena UEA adalah penandatangan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD—Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination).
Sebagaimana diketahui, 11 Juni 2018, Qatar mengajukan pengaduan ke Mahkamah Internasional, menuduh Uni Emirat Arab (UEA) melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga negara Qatar, mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia yang masih ada.
Qatar mengajukan kasus di Mahkamah Internasional PBB (ICJ—International Court of Justice) dan menuntut Uni Emirat Arab (UEA) atas tuduhan melanggar hukum Internasional dengan mengusir ribuan warga Qatar, banyak di antaranya memiliki keluarga atau memiliki properti di UEA, serta memblokade wilayah udara dan pelabuhan UEA ke Qatar.
Pada bulan Juni 2017, Uni Emirat Arab bersama dengan Arab Saudi, Bahrain, dan Mesir, memberlakukan blokade darat, udara, dan laut terhadap Qatar dan memutuskan hubungan dengan negara itu dalam salah satu perselisihan diplomatik terburuk di Teluk selama beberapa dasawarsa terakhir.
Boikot tersebut diduga melanggar Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD—Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination), termasuk diskriminasi berdasarkan kebangsaan, sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh UEA dan Qatar. Arab Saudi, Bahrain, dan Mesir bukan termasuk pihak yang menandatangani konvensi CERD.
Pada hari Senin (23/07/2018), para hakim di Mahkamah Internasional memutuskan bahwa keluarga Qatar yang terkena dampak dari tindakan UEA harus dipersatukan kembali, dengan menerapkan tindakan di pengadilan tinggi PBB yang berpusat di Den Haag, Belanda tersebut dalam sidang pembacaan sepenuhnya atas kasus diskriminasi yang diajukan Qatar atas UEA.
Para hakim juga mengatakan bahwa para pelajar harus diberikan kesempatan untuk menyelesaikan studi mereka di UEA atau untuk mempertahankan rekam nilai studi mereka agar dapat melanjutkan jenjang pendidikan di tempat lain. Akhirnya, para hakim memutuskan bahwa Qatar akan mendapatkan izin akses ke layanan peradilan di UEA.*