Hidayatullah.com–China hari Sabtu (20/7) membela kebijakan terkait wilayah Xinjiang, di mana penahanannya terhadap etnis Muslim Uighur telah menuai kritik dunia internasional dan negara-negara Barat lainnya.
Dalam Buku Putih itu China menyatakan Xinjiang adalah wilayah otonom itu diklaim tidak dapat dipisahkan dari Tiongkok, dan wilayah itu tidak pernah dikenal sebagai “Turkistan Timur“, kutip Bloomberg.
China menuduh kekuatan musuh internal dan eksternal termasuk separatis, ekstremis agama dan teroris mendistorsi sejarah dan fakta untuk memisahkan negara itu, kata kantor berita resmi Xinhua.
Ia menambahkan bahwa kelompok etnis Uighur ada di wilayah itu melalui proses migrasi dan integrasi lama. Dan, Xinjiang, lanjutnya, adalah bagian dari kesatuan Tiongkok dan kelompok multi-etnis.
Buku Putih juga menekankan bahwa Islam berakar pada budaya China dan bukan hanya kaum Uighur.
Awal bulan ini, lebih dari 20 negara menyerukan China segera menghentikan penahanan besar-besaran etnis Muslim Uighur di Xinjiang. Ini adalah langkah pertama yang diambil pada masalah tersebut di Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), setelah Barat dan dunia mendesak China mengakhiri penahanan massal sebanyak satu juta Uighur, etnik minoritas Muslim.
Kamp-kamp “cuci otak” yang disebut China sebagai “kamp pendidikan ulang’ di wilayah paling barat Xinjiang telah mendorong seruan dunia pembela hak asasi manusia dan kelompok agama menekan China untuk segera mengakhiri kekerasan pada etnis minoritas Muslim.
Kamis lalu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menggambarkan cara China memperlakukan minoritas Uighur di Xinjiang sebagai “noda terburuk abad ini”.
Sebagai tanggapan, lebih dari 30 negara termasuk Arab Saudi dan Rusia menandatangani surat terbuka yang mendukung yayasan China di Xinjiang.
Budaya etnis di Xinjiang secara historis mencerminkan unsur-unsur budaya China, dan peradaban Arab hanya memiliki pengaruh pada pergantian abad ke-9 dan ke-10 ketika Islam menyebar di wilayah itu, menurut makalah yang disebut “Sejarah Mengenai Masalah Xinjiang.”
“Masuknya Uighur ke Islam bukanlah pilihan sukarela yang dibuat oleh rakyat biasa, tetapi hasil dari perang agama dan pemaksaan oleh kelas yang berkuasa,” menurut surat kabar itu.
Agama Budha pernah menjadi agama utama di Xinjiang, katanya, menambahkan bahwa sekarang, sejumlah besar orang di Xinjiang tidak mengikuti agama apa pun, dan banyak warga Uighur mempraktikkan agama lain.
Xinjiang berkembang di masa lalu ketika ada lebih banyak keanekaragaman budaya, kata Xinhua mengutip bagian dari buku putih buatan China.
“Memiliki rasa identitas yang lebih kuat dengan budaya Tiongkok sangat penting bagi kemakmuran dan perkembangan budaya etnis di Xinjiang,” menurut surat kabar itu.
Etnis Uighur sempat mendirikan negara Turkistan Timur yang eksis hingga 10 abad sebelum akhirnya jatuh setelah digempur China pada tahun 1759.
Pada tahun 1863, bangsa Turkistan mampu mengusir orang-orang China dan mendirikan negara secara independen yang berlangsung selama 16 tahun.
Kondisi ini membuat Inggris khawatir kekaisaran Rusia bisa semakin luas di Asia Tengah. Khususnya ketika bagian utara dari Turkistan Timur dapat dikuasai.
Baca: Mengenal Muslim Uighur
Karena itu, Inggris memberikan bantuan pada China untuk menjajah Turkistan Timur. Pada waktu itu sebagai panglima perangnya adalah Jendral Tang Gaozhong pada tahun 1878.
Penjajahan ini berjalan mulus. Sesudah itu, pemerintahan China menguasai Turkistan Timur, akhirnya wilayah ini dijadikan sebagai bagian dari China. Pada bulan November 1884, Turkistan Timur dirubah menjadi Xinjiang.*