Hidayatullah.com—Semakin banyak pegawai di Jerman yang mengalami pelecehan seksual di tempat kerja dibanding empat tahun silam, menurut hasil studi baru oleh pemerintah yang dirilis hari Jumat (25/10/2019).
Dari 1.531 orang yang diwawancarai oleh Badan Anti-Diskriminasi Federal, satu dari setiap 11 pekerja mengatakan mereka menjadi korban dari ucapan atau pendekatan seksual yang tidak diharapkan. Bandingkan dengan satu dari setiap 14 pekerja dalam studi serupa tahun 2015, lansir DW.
Laporan terbaru itu mendapati bahwa dibanding pria, wanita dua kali lebih mungkin mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Sekitar 13% wanita mengatakan mereka menjadi korban pelecehan seksual sementara hanya 5% pria yang mengaku mengalami hal itu.
Lebih dari setengah (53%) pelecehan seksual itu dilakukan oleh pihak ketiga, seperti pelanggan atau pasien. Sementara itu 43% mengaku menjadi korban pelecehan seksual oleh rekan kerjanya, yang mana hampir satu dari setiap 5 pelaku merupakan atasan mereka.
Hampir empat dari lima korban mengatakan pelecehan seksual yang mereka alami bukan hanya sekali terjadi dan sebagian dari mereka mengaku ditarget oleh beberapa pelaku. Jenis pelecehan seksual yang dialami beragam mulai dari komentar atau guyonan seksual, tatapan atau gerak-gerik hingga siulan mesum. Sekitar 26% korban mengaku mendapatkan sentuhan atau pendekatan seksual.
Korban juga mengatakan bahwa media sosial dan ponsel pintar kerap digunakan oleh pelaku untuk mengirimkan gambar seksual atau email dan pesan ofensif yang dikenal dengan istilah sexting (peleburan kata sex dan texting).
Kasus pelecehan seksual yang paling parah dialami korban antara lain diundang ke rapat tertutup, diajak untuk melakukan hubungan seksual dan dalam beberapa kasus bahkan ajakan itu disertai dengan pemaksaan dan pemerasan.
“Pelecehan seksual di tempat kerja merupakan masalah serius dan menimbulkan konsekuensi serius bagi mereka yang mengalaminya,” kata Bernhard Franke, pejabat sementara kepala badan anti-diskriminasi itu.
Dia menambahkan bahwa adalah kepentingan perusahaan-perusahaan Jerman untuk turun tangan, misalnya, dengan mengadakan kontak permanen yang dapat dihubungi oleh korban, dan dengan mengadakan pelatihan wajib bagi para manajer.
Meskipun kebanyakan korban secara verbal membela diri mereka sendiri, banyak yang tidak mengetahui bahwa undang-undang ketenagakerjaan Jerman menaruh beban kewajiban di atas pundak majikan untuk melindungi pekerjanya dari pelecehan seksual.
Hanya 40% dari korban menghubungi pihak ketiga untuk mengatasi masalah pelecehan seksual yang dialaminya. Korban sering kali berusaha menyelesaikan masalah itu dengan pelaku sendiri, tetapi tidak jarang mereka juga takut pengaduan yang disampaikan ke atasanya akan berdampak buruk pada karirnya.
Hasil studi serupa pada tahun 2015 menunjukkan bahwa satu dari setiap enam wanita dan setiap orang ke-14 mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.*