Hidayatullah.com–Senat di wilayah Utah, Amerika Serikat, setuju untuk tidak lagi mempidanakan pelaku poligami di kalangan orang dewasa yang bersepakat, mengurangi hukuman poligami, praktik yang berakar kuat di kalangan komunitas agama Kristen Mormon di negara bagian itu.
RUU itu diloloskan hari Selasa (18/2/2020) oleh Senat, yang dikuasai Partai Republik, dengan suara dukungan 29-0 dan nyaris tanpa perdebatan. Selanjutnya RUU itu, yang akan menangani kasus perkawinan jamak sebagai pelanggaran ringan setara pelanggaran parkir, masih harus dibahas di Utah House of Representitives, di mana sepertinya akan mendapat lebih banyak penolakan.
Berdasarka hukum yang berlaku saat ini, poligami –kehidupan perkawinan satu pria dengan dua wanita atau lebih– dikelompokkan sebagai tindak pidana tingkat tiga dengan ancaman hukuman penjara maksimal lima tahun.
Apabila RUU yang diloloskan Senat itu disahkan, maka pinalti bagi poligami yang melanggar peraturan hanya maksimal $750 dan hukuman kerja sosial (kerja bakti, tanpa dibayar).
Akan tetapi, pernikahan penipuan bigami –di mana seorang pria memperoleh izin untuk menikahi satu istri lagi tanpa sepengetahuan istri terdahulu, atau berusaha menikahi seorang perempuan di bawah umur tanpa persetujuannya– masih dianggap sebagai tindak pidana ringan.
Politisi penyokong utama RUU itu, senator Dierdre Henderson, mengatakan maksud dari RUU itu bukan untuk melegalisasi poligami, melainkan untuk merendahkan hukumannya, sehingga mereka yang berasal dari komunitas masyarakat pelaku budaya poligami yang menjadi korban tindak pidana berani mengadukan kasusnya ke.pihak berwenang tanpa khawatir mereka sendiri juga akan dikenai pidana.
RUU itu juga akan memudahkah para pelaku poligami yang patuh hukum untuk mendapatkan layanan sosial penting seperti layanan kesehatan fisik dan mental, pendidikan atau bahkan untuk mendapatkan pekerjaan, tanpa rasa khawatir, kata politisi wanita itu.
Para penentang dekriminalisasi tersebut memgatakan bahwa peraturan yang ada saat ini tidak boleh diubah sebab pada asalnya poligami itu berbahaya bagi wanita dan anak-anak, terutama anak-anak perempuan yang sebagian dari mereka dipaksa menikah dengan pria-pria berusia jauh lebih tua.
Poligami di wilayah AS itu merupakan sisa-sisa dari ajaran awal yang dianut Church of Jesus Christ of Latter-day Saints, yang jemaatnya melarikan diri dari persekusi karena mempraktikkan poligami dan mereka kemudian menetap di wilayah Utah pada tahun 1847. Dalam rangka mematuhi peraturan yang berlaku di negara bagian itu, pada tahun 1890 poligami tidak lagi dianjurkan gereja, dan jemaat yang ketahuan mempraktikkan poligami akan diasingkan.
Pengikut fundamentalis Mormon konon mencapai lebih dari 30.000 orang di negara bagian yang terletak di sebelah barat AS itu. Kaum fundmentalis Mormon itu berusaha keras mengikuti doktrin awal gereja secara sungguh-sungguh, yang mengajarkan bahwa pelaku poligami akan dimuliakan di surga kelak.
Hukuman pidana yang diterapkan di Utah selama ini atas pelaku poligami, tidak pernah menghentikan praktik pernikahan jamak itu sama sekali, dan justru mendorong komunitasnya menjadi kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat, menciptakan kultur ketakutan yang justru memungkinkan pelakunya berjaya, kata Henderson.
“Solusi dari masalah ini adalah meningkatan integrasi sosial, yang hanya akan dapat dicapai melalui dekriminalisasi poligami yang dilakukan sesuai aturan,” kata Henderson dapat perdebatan RUU itu pekan lalu seperti dilansir The Guardian.
Akan tetapi, para pengkritiknya mengatakan kebijakan itu justru secara salah membingkai poligami sebagai isu hak asasi manusia.
“Pendukung RUU ini berusaha menunggangi kesuksesan gerakan hak-hak kaum gay (homoseksual) dengan mempromosikan narasi bahwa inisiatif ini adalah soal orang-orang dewasa yang saling sepakat (suka sama suka) untuk melakukan apa yang mereka inginkan,” kata kelompok antipoligami Sound Choices Coalition dalam sebuah pernyataan
“Ini bukan soal orang-orang dewasa yang saling bersepakat atau hak-hak gay. Ini semua soal menjadikan Tuhan sebagai senjata,” imbuhnya.
Pada tahun 2013, Kody Brown, patriark keluarga poligami yang ditampilkan dalam reality show di televisi Sister Wives, menggugat UU yang ada setelah diperiksa aparat kejaksaan Utah atas kasus bigami (pernikahan dengan dua istri) yang berakhir tanpa ada dakwaan yang dikenai atasnya.
Seorang hakim federal memyatakan bahwa undang-undang antipoligami bertentangan dengan konstitusi. Namun, pengadilan banding federal kemudian membatalkan putusan itu dan Mahkamah Agung AS menolak memproses perkaranya.*