Hidayatullah.com–Isu mengenai hubungan Kesultanan Utsmani atau Ottoman dengan wilayah nusantara telah menjadi perbincangan hangat di Indonesia akhir-akhir ini. Beberapa pihak menyebut bahwa wilayah Nusantara pernah menjadi bagian dari kekuasaan Utsmani beberapa abad lalu. Sebagian yang lain menganggap relasi itu hanya sebatas hubungan diplomatik.
Sejarawan Turki Dr. Ismail Hakkı Kadı yang memiliki perhatian terhadap hubungan sejarah Utsmaniyah di Asia Tenggara disebut-sebut sebagai sejarawan yang mampu menjelaskan akurasi sejarah mengenai hubungan Utsmani dan Nusantara. Ia mengatakan, tidak adanya dokumen sejarah bukan berarti hubungan keduanya dianggap tidak ada sama sekali.
“Saya tidak terlalu banyak mengikuti perdebatan itu di sana, tetapi ada beberapa sahabat saya di sana memberikan kabar tentang isu itu,” ucap Kadı saat wawancara dengan Anadolu Agency hari Kamis (27/8/2020).
Kadı yang dikenal sebagai akademisi yang gigih meneliti langsung arsip-arsip Utsmani terkait sejarah relasi Utsmani dengan wilayah Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya. Hasil penelitiannya itu telah dituangkan dalam sejumlah publikasi jurnal, makalah, dan buku.
“Sejak April 2009, kurang lebih 11 tahun saya meneliti hubungan antara Kerajaan Utsmani dengan negara-negara yang ada di Asia Tenggara, bukan hanya Indonesia saja,” ucap Kadı.
Salah satu bukunya yang menjadi rujukan bagi dunia akademik adalah Ottoman-Southeast Asian Relations: Sources from the Ottoman Archives. Buku ini ditulis bersama sejarawan Inggris Andrew Charles Spencer Peacock yang juga fokus dalam mendalami sejarah Utsmani.
“Yang ada di buku itu, bukan lah kumpulan dari semua arsip yang telah saya temukan selama ini. Hanya yang penting-penting saja, tapi saya sudah berusaha mencantumkan arsip dan dokumen yang penting dalam buku itu,” terang dia.
Menurut Associate Professor bidang sejarah di Universitas Istanbul Medeniyet ini, hubungan Kerajaan Utsmani dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara dibagi dua kategori. Pertama hubungan formal dan hubungan informal.
“Dalam hal ini, hubungan formal adalah relasi berbasis politik dan militer, yakni hubungan yang dibangun pada abad ke-16 melalui surat-menyurat dan bermacam-macam hubungan militer.”
Selain itu, ada hubungan formal yang dijalin selama abad ke-19. Di luar itu, sumber-sumber Utsmani pada abad ke-17 dan ke-18 tidak memberikan petunjuk apa pun tentang hubungan resmi antara Utsmani dengan Nusantara. “Tetapi ini tidak boleh dipahami bahwa tidak ada hubungan sama sekali.”
Menurutnya, masyarakat Nusantara berinteraksi kuat dengan para ulama Utsmani di wilayah Hijaz pada abad ke-17 dan ke-18. “Oleh karena itu, kita bisa membicarakan sebuah relasi yang sebagian besar didasarkan pada interaksi intelektual pada abad ke-17 dan ke-18, yang tidak tercatat secara resmi dalam arsip. Jika dilihat secara keseluruhan, beberapa sumber mengatakan relasi itu bermula pada tahun 1517, awal abad ke-16.”
Bahkan menurutnya, sejak tahun 1530-an, utusan-utusan Aceh mulai terlihat di Istanbul. Mereka terlibat dalam kerja sama Aceh-Utsmani dan mereka datang untuk meminta bantuan militer untuk melawan kegiatan kolonialisme Portugis di wilayah itu.
Ia juga mengakui, dalam bukunya, Ottoman-Southeast Asian Relations: Sources from the Ottoman Archives ia menyebut hubungan pada abad ke 19 antara Kesultanan Ustamni dengan kesultanan-kesultanan di Sumatra.
“Di luar itu, ada surat dari Kesultanan Kedah yang meminta bantuan dari Utsmani pada 1824 untuk melawan pemberontakan dan penyerangan di sana. Pada tahun 1848-1850, Aceh juga meminta bantuan dari Utsmani. Sultan Riau, Sultan Jambi, dan kesultanan lainnya yang berada di Sumatra mengirimkan surat permohonan bantuan kepada Utsmani. Saya mencantumkan relasi itu ke dalam buku saya ini karena saya menganggap hubungan ini penting,” ujarnya. “Selama melakukan penelitian, saya belum menemukan dokumen yang mengungkapkan hubungan Utsmani dengan kerajaan-kerajaan di Jawa.
Meski demikian, pria yang pernah meneliti hubungan perdagangan Utsmani-Belanda pada jenjang doktoral di Universitas Leiden ini mengatakan, “belum menemukan dokumen” bukan berarti “relasi itu tidak ada sama sekali”.
“Karena belum ditemukannya dokumennya bukan berarti hubungan itu sama sekali tidak ada. Hanya karena saya tidak menemukan dokumennya di arsip Utsmani saya tidak akan mengatakan hubungan Utsmani dengan Jawa tidak ada,” ujarnya. “Mungkin saja relasi itu ada namun tidak tercatat dalam dokumen resmi Utsmani. Mungkin saja dokumen resmi itu memang ada, tetapi kami tak menemukannya selama kami melakukan penelitian. Mengapa saya mengambil pendekatan yang hati-hati seperti ini. Misalnya dalam buku yang ditulis Ricklefs berjudul Mystical Sentences in Java, sesosok bernama Ibrahim digambarkan sebagai utusan Utsmani yang melakukan peran mediasi antara Kesultanan Yogyakarta dengan Belanda pada 1750-an.”
Ia mengaku belum menemukan dokumen yang menunjukkan hubungan Utsmani dengan kerajaan di Jawa selama penelitian di arsip Utsmani. “Dokumen-dokumen berkaitan dengan relasi di Jawa yang saya temukan hanya sebatas pada periode abad ke-19 dan ke-20. Jelas pada periode ini Utsmani membuka konsulat di Jakarta pada tahun 1883, sejak saat itu ada banyak hubungan diplomatik antara Jawa dan Utsmani.”
Ia mengungkapkan, soal perdebatan di Indonesia terkait hubungan Ustmani dan Nusantara adalah sesuatu yang bagus. “Isu viral seperti ini, meningkatkan minat orang-orang untuk menelitinya, dan penelitian tentang hal ini akan bertambah.”
Bahkan menurutnya, masih ada potensi penemuan jejak, sumber atau dokumen yang menceritakan hubungan Nusantara dengan Utsmani. “Kemungkinan itu selalu ada. Bila semakin banyak orang yang meneliti, maka semakin banyak hal yang dapat ditemukan.”
Ia berharap ke depan perdebatan semacam ini akan mendorong dan memotivasi masyarakat Turki dan Indonesia agar lebih meneliti hubungan sejarah secara mendalam antara kedua negara. “Saya berharap ada kebaikan di balik perdebatan ini.”
Ditanya hubungan Kerajaan Demak dengan Utsmani, Ismail Hakkı Kadı menegaskan, hubungan Utsmani pada abad ke-16 tampaknya hanya terbatas pada hubungan dengan Kesultanan Aceh. “Namun, kita perlu melihat struktur politik kawasan tersebut pada periode itu, koalisi politik seperti apa yang dibentuk pada masa itu untuk melawan kolonialisme Portugis.”
Menurutnya, Utsmani pada abad ke-16 adalah sekutu Aceh, yang berada di wilayah Nusantara. Bila dilihat dari sumber Utsmani pada abad ke-16, dalam sumber-sumber tercantum bahwa ada dua pemimpin kerajaan yang setara posisinya.
“Karena dalam dokumen-dokumen Utsmani, sultan Aceh disebut sebagai “Açe Padişahı” [Raja Aceh], maka terminologi “padişah” dalam arsip Utsmani adalah ungkapan untuk pemimpin yang setara dengan raja Utsmani. Namun pada abad ke-19, ungkapan yang ditulis dalam surat yang dikirim oleh utusan Aceh ke Istanbul untuk meminta pertolongan dari Utsmani guna melawan Belanda pada 1848-1849, Aceh saat itu menyebut diri mereka sebagai bagian [vassal] Utsmani sejak abad ke-16.”
Dalam surat yang dikirim ke Utsmani, Sultan Aceh Mansur Syah dan sultan setelahnya mengungkapkan bahwa Aceh adalah bagian dari khilafah Utsmani. “Tapi seperti yang saya ungkapkan sebelumnya bahwa bahasa yang digunakan dalam arsip Utsmani abad ke-16 adalah hubungan kerja sama antara dua pemimpin kerajaan yang posisinya setara.”
Menurutnya, hubungan Jawa dengan Utsmani mulai meningkat setelah Utsmani membuka konsulatnya di Jawa. Misalnya seperti pengiriman pelajar dari Jawa ke Istanbul untuk mendapatkan pendidikan modern di sekolah-sekolah Utsmani.
Tokoh-tokoh di Jawa pada saat itu memberikan hadiah ke utusan Utsmani di Jakarta atau ke otoritas Utsmani di Istanbul. Konsulat Utsmani juga membantu warga Arab yang ditinggal di sana agar diterima di sana sebagai warga Utsmani. Ada ucapan belasungkawa dan simpati dari wilayah itu kepada Sultan Utsmani Abdulhamid yang selamat dari upaya pembunuhan dengan bom di Istanbul pada 1905.
“Meski begitu kita juga tidak boleh meremehkan mitologi, penghormatan yang diberikan masyarakat di sana kepada sultan Utsmani. Ini tidak kalah pentingnya dari apa yang ada dalam dokumen-dokumen resmi yang sudah ditemukan,” katanya. “Ada pembicaraan bahwa sultan Utsmani mengirimkan bendera kepada kerajaan Yogyakarta. Tentu saja perlu ada penelitian tentang hal itu. Terus terang saya belum mengetahui apakah ini sudah diteliti oleh pakar-pakar yang lain atau belum.”
Namun menurutnya, motif Zulfikar [pedang bermata dua] pada bendera itu adalah hal yang tidak asing bagi Utsmani. “Motif Zulfikar memang digunakan oleh para pelaut Utsmani. Oleh karena itu, hemat saya ini perlu dilakukan penelitian,” tambahnya.*