Hidayatullah.com–Negara Jepang atau yang kita kenal dengan negara Sakura, sudah tidak asing di telinga lagi bukan? Menyebutkan Jepang, yang akan muncul dalam kepala kita adalah gambaran sebuah negara yang ramai, maju, dan energik.
Jepang memiliki kota Tokyo. Kota yang tidak pernah tidur ini disebutkan sebanyak 24 juta turis dalam satu tahun, dengan teknologi yang sangat maju.
Negara ini dikenal dengan bunga sakuranya yang cantik, dengan majunya elektronik, teknologi, serial film atau series Anime, dan otomotif yang sudah meluas ke seluruh dunia yang sudah tidak diragukan kembali.
Tidak lupa budayanya yang sangatlah unik. Namun di balik itu semua, apakah kalian tahu bahwa sebenarnya negara ini juga jadi pusat perhatian dikarenakan populasi warganya yang semakin menurun dan dengan populasi yang dikhawatirkan terancam punah?
Belakangan ini, telah diungkapkan bahwa populasi di Jepang yang sedang menurun dalam 10 tahun berturut-turut. Negara Jepang menempati peringkat ke sebelas dalam daftar peringkat populasi penduduk terbanyak di dunia.
Pada tahun 2018 lalu, Jepang tercatat memiliki populasi sekitar 126,420,000 penduduk. Pada tahun 2017, terdapat 900,000 bayi yang lahir di Jepang. Tapi pada tahun itu juga, 1.3 juta penduduk meninggal dunia.
Dengan kata lain, populasi kematian di Jepang lebih tinggi dibandingkan angka kelahiran di Jepang. Jumlah kelahiran di Jepang diperkirakan akan terus mengalami penurunan. Jumlah pernikahan di Jepang turun lebih dari 20.000 menjadi 586.438 antara tahun 2017 dan 2018.
Ditambah lagi, tingkat kasus bunuh diri di Jepang yang cukup tinggi. Jepang menempati peringkat 30 dalam daftar negara dengan tingkat bunuh diri terbanyak di dunia.
Menikah dan Menjalin Hubungan
Salah satu alasan yang paling diketahui adalah karena malasnya menikah. Siapa yang tidak ingin menikah? Pastinya setiap orang memiliki keinginan menikah untuk membangun kehidupan yang baru.
Menikah berarti menjalin sebuah hubungan dan membangun sebuah keluarga. Tapi hal ini tidak di Jepang. Bagi kebanyakan warga Jepang, hal tersebut adalah sebuah beban yang cukup berat.
Masyarakat Jepang lebih mementingkan kehidupan mereka sendiri dibandingkan urusan yang lain. Termasuk dengan pekerjaan, bakat dan hobi, atau apapun yang mereka ingin tuju. Terutama untuk warga perempuan Jepang lebih berat ke karir yang sekarang mereka miliki.
Ditambah lagi dengan sistem pernikahan yang sulit, seperti pergantian nama marga sang istri. Bagi pria mungkin merasa terbebani atas kewajiban untuk menafkahi istri dan anak mereka. Sebaliknya dengan wanita, tidak ingin bergantung kepada seorang suami. Memiliki mengurus anak juga pastinya tidaklah hal yang mudah.
Menjalin hubungan juga bermaksud hilangnya sebagian dari kebebasan seseorang. Menikah adalah seperti memulai hidup baru, akan berarti berubahnya prioritas masing seseorang.
Dengan memiliki sebuah hubungan, kesempatan terhambatnya kebebasan seseorang lebih besar. Warga akan kesulitan untuk melakukan hal yang mereka sukai yaitu termasuk hobi, gairah, dan karir mereka. Oleh karena itulah mereka menolak untuk menikah.
Sebelum pernikahan, ternyata warga Jepang cenderung tidak mudah untuk memiliki perasaan kecuali terhadap kriteria idealnya. Jika mereka sulit untuk mencari kriteria idealnya, maka mereka tidak akan mau memiliki hubungan khusus.
Warga Jepang memiliki standar pasangan ideal yang sangat tinggi, karena itulah mereka sulit menjalin sebuah hubungan. Menurut pendapat penduduk Jepang, mereka sangat susah untuk menemukan tipe idealnya. Itu juga menjadi alasan mengapa penduduk Jepang malas untuk berurusan dengan suatu hubungan.
Hal lain yang sangat mengejutkan adalah, bahkan ada warga Jepang yang berhubungan atau hingga menikah dengan karakter fiksi atau benda mati. Beberapa orang juga menentang dalam hal pernikahan antara manusia, dengan kreatifitas dan imajinasi yang tinggi, dan juga bantuan teknologi yang secanggih-canggihnya, apapun bisa terjadi.
Warga Jepang hidup dengan fantasi dan imajinasi sendiri. Sayangnya, hal ini sudah dianggap normal bagi mereka.
Pemerintah Jepang tidak menutup mata akan hal ini sudah banyak cara yang dilakukan pemerintah Jepang untuk hal ini. Keengganan orang Jepang menikah bahkan telah membuat perdana menteri Shinzo Abe mengeluarkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan keluarga.
Kebijakan itu antara lain adalah hak cuti melahirkan untuk suami dan meningkatkan gaji dasar untuk pekerja wanita yang selama ini memang dibedakan dengan laki-laki sambil berkampanye arti penting keluarga dalam karir. Namun sepertinya, warganya masih menutup mata akan hal ini.
Tidak Tertarik Pernikahan
Pemerintah Jepang telah melakukan survei pada tahun 2014 lalu karena menurunnya populasi di Jepang. Survei yang dilakukan pemerintah telah disebar kepada sekitar 7000 pria dan wanita berusia 29 hingga 30 tahun.
Dari 7000 orang, 2643 orang memberikan jawaban dengan hasil cukup mengejutkan. Sekitar 38% warga Jepang yang telah menjalankan survei tersebut merespon bahwa mereka tidak tertarik untuk menjalin sebuah hubungan. Sebanyak 39.1% wanita dan 36.2% pria menjawab mereka tidak menginginkan sebuah pasangan.
Para responden juga diminta untuk memberi alasan, mengapa tidak ingin menjalin hubungan. 46.2% menjawab bahwa urusan cinta terlalu banyak kerumitan, 45.1% lebih mementingkan hobi daripada hubungan asmara. 32.9% mengatakan mereka ingin fokus kepada pekerjaan dan kuliah, sedangkan 28% lainnya mengaku tidak tertarik dengan hubungan asmara.
Workaholic
Meski Jepang dikenal dengan penduduknya yang sangat disiplin, kreatif, teliti, dan rajin, di sisi lain banyak warganya terlihat memiliki tekanan. Workaholic adalah budaya Jepang yang sulit dilepaskan. Regulasi di Jepang, batas waktu bekerja adalah 8 jam per hari dan 40 jam per minggu.
Jepang juga salah satu negara dengan waktu bekerja paling lama di dunia. Saking beratnya pekerjaan di Jepang, membuat banyak warga mengalami stres.

Banyak orang telah meninggal akibat terlalu banyak bekerja, atau juga disebutkan karoshi. Fenomena karoshi bisa akibat bunuh diri atau dari penyakit. Pekerja wanita hamil juga dapat keguguran akibat kelebihan kerja.
Hingga sekarang, kematian akibat terlalu banyak bekerja dan kelelahan sudah biasa. Walaupun jepang memberlakukan 16 hari libur per tahunnya, warga masih saja antusiasnya memutuskan untuk terus bekerja.
Hal ini sangat berbeda di Indonesia, disini pekerjaan tidak terlalu berat. Kebanyakan warga Indonesia dapat dikatakan pemalas, dan sering mengeluh atas pekerjaan mereka sendiri.
Respon dari Pemerintah
Pemerintah di Jepang pasti tidak ingin penurunan jumlah penduduk di negaranya mereka yang memburuk. Karena hal itu, mereka telah melakukan sejumlah langkah langkah dalam hal ini.
Beberapa respon Pemerintah Jepang terhadap masalah kependudukan seperti dilansir dari Laporan PBB.
- Sejak awal tahun 1990-an, Pemerintah Jepang telah memperluas kebijakan dan program keluarga di tiga bidang: layanan pengasuhan anak, rencana cuti orang tua, dan bantuan dalam hal bentuk tunjangan anak.
- Mulai dari tahun 1994, Pemerintah telah menerapkan beberapa program yang dirancang untuk menyediakan lebih banyak layanan pengasuhan anak dan mendorong tempat kerja untuk menjadi ramah keluarga.
- Mulai dari tahun 1992, Pemerintah telah menawarkan cuti orang tua selama 12 bulan untuk orang tua yang sudah memenuhi persyaratan kerja minimum. Kompensasi pendapatan ditambahkan pada 1995 dan sekarang dibayar 50 persen dari gaji bulanan sebelum awal cuti.
Usai upaya ini, kebijakan keluarga Jepang sejauh ini tampaknya sebagian besar tidak efektif. Ketegangan pada orang tua, terutama ibu yang bekerja, sekarang belum berkurang secara signifikan dan kesuburan tetap sangat rendah.
Dapat disimpulkan bahwa belakangan ini, warga Jepang mengalami penurunan populasi penduduk dikarenakan hal-hal berikut ini. Ketidak ketertarikan seseorang untuk menikah dan memiliki keluarga, dikarenakan mereka lebih mementingkan karir mereka tersendiri atau hal yang mereka sukai.
Ditambah juga akibat kematian yang terus meningkat daripada angka kelahiran di negara Jepang ini. Walau pemerintah Jepang sudah melakukan program untuk peningkatan angka kelahiran Jepang atau untuk ketertarikan jepang untuk menikah, namun sepertinya hal ini tidak berhasil dan masih sama saja dari sebelumnya.
Beberapa sistem kerja di Jepang tidak mempengaruhi ketertarikan warga Jepang untuk menikah. Pekerjaan yang tak kenal lelah, disiplin, kecepatan proses kerja, membuat mereka khawatir tidak bisa menghabiskan waktu dengan keluarga. Mempunyai buah hati, juga termasuk untuk mereka malas untuk menikah, dikarenakan sang ibu tidak bisa melanjutkan pekerjaannya.
Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan karena jika kondisi ini dibiarkan akan membuat negaraJepang mengalami krisis demografi yang sangat serius. Semakin sedikit warganya yang berkeinginan untuk menikah, menyebabkan angka kelahiran di kota maju ini turun drastis dari waktu ke waktu.
Jika hal ini terus terjadi, bukan hal yang aneh jika populasi manusia Jepang terancam punah dalam beberapa puluh tahun ke depan. Berdasarkan data nippon.com, diagram penurunan penduduk Jepang yang setiap tahun menurun drastis.
Fenomena ini membuat pemerintahan Jepang terus berjuang keras untuk menaikkan kembali angka kelahiran agar bertambahnya populasi negara dan mencegah terjadinya kepunahan.*/Kirana Meuthia, Nabila Firli Lee Homi, Yuaneeza Naraya Arini, dan Nayzea Renggali Mewangi, siswi-siswi kelas 8 SMP Lazuardi Global Compassionate School