Hidayatullah.com–Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hari Jumat (15/1/2021) mengatakan untuk saat ini pihaknya menolak pemberlakuan sertifikat vaksinasi Covid-19, yang juga disebut “paspor vaksin”, sebagai syarat bagi orang asing memasuki negara lain.
Beberapa negara sudah mengisyaratkan bermaksud mengeluarkan “paspor vaksin”, di antaranya Spanyol, Belgia, Islandia, Estonia dan Denmark.
“Masih terlalu banyak yang tidak kita ketahui tentang efektivitas vaksin-vaksin yang ada dalam mengurangi penularan (virus) dan vaksin tersedia hanya dalam jumlah terbatas,” kata WHO dalam rekomendasinya seperti dilansir Euronews. Ditambahkan pula bahwa bukti vaksinasi Covid-19 bukan berarti mengabaikan bahaya penyakit-penyakit lain.
Hari Kamis, Polandia mengumumkan akan memberlakukan ketentuan paspor vaksinasi.
Wakil Menteri Kesehatan Polandia Anna Goławska mengatakan warga Polandia bisa memperoleh sertifikat tersebut dalam bentuk kode QR yang dapat diunduh setelah mereka disuntik vaksin coronavirus dosis kedua. Dengan kode tersebut orang bersangkutan dapat menggunakan hak-hak yang layak diterima oleh orang yang sudah divaksinasi Covid-19.
Pekan lalu, Denmark mengatakan akan mempertimbangkan pemberlakuan sertifikat vaksinasi agar pembatalan perjalanan dan pergerakan warganya dapat dilonggarkan.
Etika berkaitan dengan paspor vaksin ini menjadi subyek perdebatan seputar hak asasi manusia. Pasalnya, apabila kebijakan itu diberlakukan maka akan membatasi pergerakan orang yang sehat dan tidak atau belum divaksinasi, serta masalah berkaitan dengan perlindungan privasi data, seperti hasil studi yang dilakukan University of Exeter Di Inggris.
“Paspor kesehatan digital mungkin berkontribusi bagi manajemen pandemi Covid-19 jangka panjang. Akan tetapi, hal itu menimbulkan masalah mendasar pada perlindungan privasi data dan hak asasi manusia,” kata Ana Beduschi, seorang pfofesor bidang hukum yang juga salah satu penyusun hasil penelitian itu, kepada Euronews.
“Apabila orang tidak dapat mengakses atau membayar tes atau vaksin Covid-19, mereka tidak akan dapat membuktikan status kesehatannya, dan dengan demikian secara de facto kebebasan mereka terbatasi,” kata Beduschi.
Wojciech Wiewiórowski, dari Data Protection Supervisor Uni Eropa, dulu pernah mengutarakan kekhawatiran yang sama tentang “paspor imunisasi”, dia menyebutnya sebagai kebijakan “ekstrem” dan “berdasarkan pada asumsi yang tidak didukung oleh medis.”*