Hidayatullah.com—Prancis telah mengecam keras seorang pekerja bantuan kemanusiaan karena kembali ke negara di mana dia dulu pernah ditangkap dan dijadikan tawanan kelompok bersenjata Muslim.
Sophie Pétronin, 76, ditangkap al-Qaida pada tahun 2016 saat bekerja di Gao, bagian timur laut Mali.
Dia dilepaskan pada Oktober 2020 ketika rezim baru di Mali melakukan pertukaran puluhan anggota milisi Muslim dengan beberapa tawanan.
Dilansir Euronews dari Mediapart, Pétronin kembali ke Mali pada bulan Maret meskipun tidak diberi visa. Media Prancis itu juga melaporkan bahwa otoritas Mali sudah mengeluarkan ßurat perintah untuk menangkapnya.
Juru bicara pemerintah Prancis Gabriel Attal berkata kepada para reporter hari Rabu (3/11/2021), “Tentu saja, kami menyesalkan kembalinya Sophie Pétronin ke Mali”.
“Ini adalah bentuk tindakan tidak bertanggung jawab tidak hanya terkait dengan keamanannya sendiri tetapi juga dengan keamanan tentara kita,” ujarnya.
“Ketika ada warga negara kita yang ditawan di luar negeri, maka adalah tugas tentara yang harus menyelamatkannya dengan taruhan nyawa mereka sendiri. Ada sejumlah tentara kita yang terbunuh dalam operasi penyelamatan mereka yang dijadikan tawanan di negara-negara asing. Oleh karena itu kita juga harus menghormati tentara kita,” tegasnya.
Dia menambahkan bahwa Kementerian Luar Negeri sedang memantau situasi “sangat dekat”.
Kementerian memperingatkan bahwa perjalanan ke Mali berisiko serius bagi “orang-orang Barat” termasuk aksi kekerasan dari kalangan teroris.
Paris mengumumkan pada bulan September bahwa pasukan Prancis telah membunuh pemimpin ISIS alias IS di kawasan Greater Sahara yang merupakan pukulan besar bagi kelompok itu. Ribuan serdadu Prancis dikerahkan di Sahel – yang mencakup Burkina Faso, Mali, Mauritania, Niger dan Chad — sejak 2013 untuk memerangi kelompok bersenjata Muslim dan melatih pasukan pemerintah setempat. Sedikitnya sudah 51 tentara Prancis yang kehilangan nyawanya di kawasan itu.
Kementerian juga memperingatkan bahwa ancaman penculikan tinggi terutama di bagian tengah dan utara Mali di mana warga negara Prancis kemungkinan memiliki “nilai jual” bagi kelompok teroris.
Bepergian ke sejumlah daerah tertentu di Mali sama sekali dilarang, imbuhnya.
Berbicara kepada AFP tidak lama setelah keterangan pers yang digelar Attal, Pétronin menolak kecaman yang ditujukan terhadapnya: “Mengapa dianggap tidak bertanggung jawab? Saya merasa seperti di rumah di sini.”
“Iya, Saya sudah berada di Mali beberapa waktu. Tapi saya tidak takut dan saya khawatir,” kata wanita tua itu, seraya menambahkan, “Saya baik-baik saja. Dan saya bahagia di mana saya sekarang ini berada. Saya tidak menggangu orang dan tidak ada orang yang mengganggu saya.”
“Saya tidak tahu kalau saya dicari, dan saya tidak tahu kenapa,” imbuh wanita yang mengaku sudah memeluk Islam tersebut.*