Hidayatullah.com—Maraknya pemikiran liberal yang muncul belakangan menunjukkan bahwa Islam liberal masih hidup. Hal tersebut ditegaskan oleh Akmal Sjafril, Kepala Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Pusat dalam wawancara secara daring, Rabu (03/11/2021).
“Beberapa tokoh belakangan ini melontarkan pemikiran liberal secara frontal tanpa malu-malu lagi, itu semua menunjukkan bahwa Islam liberal masih sangat eksis, dan mereka sangat percaya diri,” ujar Akmal.
Persoalan ini patut mendapat perhatian karena beredar isu di kalangan sebagian aktivis Islam bahwa Islam liberal sudah tidak laku, Jaringan Islam Liberal (JIL) sudah tidak dapat dana, sehingga pemikiran menyimpang ini sudah tidak perlu diwaspadai lagi.
“Saya tidak tahu sumbernya dari mana, tapi pandangan ini memang banyak dikemukakan orang. Biasanya saat saya membahas pemikiran Islam liberal, pada saat sesi tanya-jawab ada saja yang mempertanyakan kebenaran isu bahwa JIL sudah tidak dapat dana. Pertama, tidak ada yang bisa mengkonfirmasi isu tersebut. Apa benar JIL tidak dapat dana lagi? Aktivis Islam kok suka menyebar isu yang tidak bisa dipastikan kebenarannya? Ini kan penyimpangan,” katanya. “Kedua, pada kenyataannya, pemikiran Islam liberal masih terus bermunculan kok, bahkan di beberapa lini makin mendominasi,” ungkap penulis buku Islam Liberal 101 itu,” tambahnya.
Isu semacam itu, menurut Akmal, justru tidak menguntungkan. “Semacam menipu diri, seolah-olah sudah menang, padahal belum. Di berbagai kampus, Islam liberal itu masih diajarkan secara masif. Karena kita merasa sudah menang, akhirnya abai. Umat sekarang perhatiannya tersedot ke ranah politik, misalnya, padahal masalah-masalah pemikiran tidak kalah pentingnya, bahkan sebenarnya lebih fundamental,” papar Akmal lagi.
Lontaran-lontaran pemikiran dari beberapa tokoh yang muncul belakangan ini, menurut Akmal lagi, berakar pada pemikiran Islam liberal. Akmal menyoroti beberapa perkembangan terkini, “Ada yang ngotot ingin diakui Muslim tapi tidak merasa perlu menjalankan syari’at Islam, ada yang bilang tidak boleh merasa benar, ada mahasiswa yang mempertanyakan mengapa harus menyembah Allah dan belakangan ada dosen yang mengatakan bahwa NU mengalami kemunduran karena Asy’ariyyah, bukan Mu’tazilah. Bagi yang mengikuti perkembangan Islam liberal secara serius tak akan kaget lagi melihat fenomena seperti ini. Ya begitulah Islam liberal!”
Berkembangnya pemikiran-pemikiran semacam itu menunjukkan bahwa para aktivis Islam harus lebih memandang serius persoalan pemikiran. Menurutnya. Dahulu Buya Hamka mengingatkan bahwa masalah kebudayaan lebih fundamental daripada politik, karena politik itu riak-riak di permukaan, sedangkan kebudayaan itu letaknya di kedalaman.
“Yang Buya maksudkan dengan kebudayaan itu bukan tari-tarian atau semacamnya, tapi meliputi filsafat, ilmu pengetahuan dan seni. Politik itu penting, tapi apakah masyarakat yang tidak meyakini kesempurnaan Islam bisa menerima politik Islam? Kalau ingin Islam mewarnai politik di Indonesia, tentu masyarakatnya juga harus diarahkan agar berpikir Islami dulu. Kalau tidak, mereka akan terus saja memilih pemimpin yang sekuler atau membenci Islam,” pungkas Akmal.
Selain aktif menulis, Akmal juga dikenal sebagai aktivis #IndonesiaTanpaJIL (ITJ). Sejak 2014, Akmal bersama sejumlah rekannya mendirikan SPI. SPI yang sudah meluluskan ratusan alumni yang tersebar di empat wilayah, yaitu Jakarta, Bandung, Tangerang dan Yogyakarta diminta tidak lengah.*/SPI Media Center