Hidayatullah.com — Senat Prancis telah memilih untuk melarang simbol agama yang mencolok dalam olahraga, sebuah langkah yang terutama ditujukan untuk perempuan Muslim negara itu – yang beberapa diantaranya mungkin berolahraga dengan hijab.
Menurut para politisi sayap kanan yang memilih keputusan yang melarang pemakaian hijab dalam olahraga, langkah yang menargetkan wanita Muslim itu diambil untuk kepentingan yang disebut netralitas agama.
“Langkah ini bertujuan untuk menekan semua bentuk subjektivitas Muslim mengenai keyakinan dan ibadah, budaya dan ekspresi politik,” kata Maria De Cartena, seorang pembela hak asasi manusia di Prancis.
Keputusan kontroversial itu ditentang pemerintah Emmanuel Macron (penentangan ini sangat jarang terjadi) yang telah melakukan beberapa tindakan keras kepada umat Islam dalam beberapa tahun terakhir.
Disetujui 160 suara dan ditolak 143 di majelis tinggi parlemen pada Selasa, keputusan tersebut menurut De Cartena merupakan demonstrasi Islamofobia yang dilembagakan, TRT World melansir pada Kamis (21/01/2022).
De Cartena juga telah menjadi aktivis penting yang bekerja dengan kelompok yang dikenal sebagai Koordinasi Menentang UU Separatisme. Undang-undang yang diklaim oleh pemerintah Prancis ditujukan untuk memerangi “ekstremisme Islam”, tetapi para kritikus mengatakan itu membatasi kebebasan beragama dan secara tidak adil menargetkan Muslim.
Langkah Islamofobia terbaru Senat Prancis mengikuti serangkaian pembatasan dalam beberapa tahun terakhir yang secara sistematis menekan umat Islam. De Cartena mengatakan bahwa dalam pemungutan suara keputusan terbaru, Senat “menunjukkan bahwa kebijakan Islamofobia dan perang melawan Islam dan Muslim; bersifat permanen dan ada di mana-mana di bidang politik, hukum, media.”
Awal bulan ini, sebuah penelitian menemukan kecenderungan kuat bahwa media Prancis untuk memberikan waktu tayang kepada suara-suara sayap kanan dan memperkuat pandangan ekstrim mereka.
Tahun lalu parlemen Prancis melarang anak-anak perempuan Muslim menghadiri perjalanan sekolah mereka sambil mengenakan jilbab, sebuah simbol yang dianggap sebagai ancaman bagi semua hal yang diperjuangkan Republik.
Kala itu Macron mendukung larangan yang merupakan bagian dari narasi pemerintah “bahwa perjuangan melawan ‘separatisme Muslim’ adalah perjuangan sehari-hari,” kata De Cartena.
Pemerintahan Macron sangat berfokus kepada minoritas Muslim negara yang berpenduduk 5,4 juta orang, bahkan ketika Prancis bergulat dengan pandemi Covid.
Isu-isu yang saling bersilangan ini hanya semakin kuat dengan pemilu presiden yang tinggal beberapa bulan lagi. Partai-partai di kiri dan kanan spektrum politik bersaing untuk tampil keras terhadap Muslim.
Langkah-langkah terbaru yang dipilih oleh partai sayap kanan Les Republicains mengubah Undang-Undang Anti-Separatisme Macron untuk menyebutkan “penggunaan kerudung secara eksplisit.”
De Cartena khawatir bahwa langkah terbaru untuk melarang perempuan bermain olahraga kecuali mereka mematuhi perintah negara hanya akan semakin “memisahkan Muslim dari masyarakat lainnya.”
“Tujuannya di sini adalah untuk melarang lebih banyak lagi semua penanda Islam,” tambah De Cartena.
Secara lebih luas, kata De Cartena, “Islamofobia di Prancis tidak ada hubungannya dengan partai-partai tetapi dengan sistemnya! Islamofobia hadir di semua lapisan masyarakat: di tingkat pemerintah, polisi, dan peradilan.”