Hidayatullah.com– Pemangkasan terhadap dana bantuan Inggris akan mengakibatkan ratusan sekolah di Suriah, sementara 40.000 anak saat ini sudah tidak lagi bersekolah akibat kebijakan tersebut.
Dana bantuan dari Inggris untuk 133 sekolah yang dikelola Syria Relief akan berakhir pada 30 April ketika pemerintah “bergegas” melakukan pemotongan £4,2 miliar ($ 5,3 miliar) dari pengeluaran bantuan luar negeri, yang memangkas total komitmen Inggris dari 0,7 menjadi 0,5 persen dari pendapatan nasional bruto.
“Apabila dana tidak ditemukan untuk menutupi kekurangan tersebut, maka satu generasi anak Suriah di bagian utara akan terdepak dari sekolah,” kata Jessica Adams, kepala bidang komunikasi Syria Relief, kepada The Guardian.
Apabila anak-anak tidak bersekolah dikhawatirkan akan terjadi peningkatan kasus buruh anak, pernikahan anak di bawah umur, kehamilan dini, eksploitasi dan perdagangan anak, serta perekrutan anak ke dalam militer atau kelompok-kelompok bersenjata.
Syria Relief merupakan lbaga non-pemerintah penyedia sekolah terbesar di negara itu. Organisasi amal tersebut pernah mengoperasikan hingga 306 sekolah.
Namun, akibat donatur mengalihkan bantuannya ke Ukraina, Syria Relief sekarang hanya mengelola 24 sekolah untuk 3.600 anak.
Inggris memangkas 69 persen bantuan untuk Suriah.
“Jika sekolah-sekolah ini tutup, kami harus mengirim mereka ke sekolah yang meminta uang, tetapi kami tidak punya uang, bahkan untuk sewa rumah, jadi kami ingin sekolah tetap buka,” kata Abu Halid, yang anak-anaknya bersekolah di kamp pengungsian Mahmoodli di Suriah bagian utara, kepada The Guardian
Syria Relief mengatakan sekolah-sekolah di kamp sudah penuh sesak, kekurangan listrik atau pemanas. Sementara tingkat pekerja anak dan pernikahan dini yang sudah tinggi akan semakin tinggi akibat semakin banyak sekolah yang ditutup.
Joyce Msuya, asisten sekretaris jenderal di UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs, pekan lalu mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa diperkirakan 14,6 juta warga Suriah membutuhkan bantuan kemanusiaan dan ada 2,4 juta anak putus sekolah di negara itu lapor The Guardian Kamis (5/5/2022).*