Sambungan artikel PERTAMA
Lebih jauh, warga Uighur dikenai pelarangan perjalanan, baik di dalam Xinjiang maupun ke luar wilayah tersebut. Bahkan ada perintah resmi yang memaksa warga Uighur menyerahkan paspor ke polisi untuk “diamankan”.
Soal agama, para pejabat pemerintah Uighur dilarang mempraktikkan rukun Islam, baik beribadah di masjid maupun berpuasa saat Ramadhan.
Lantaran semua langkah ini sudah ditempuh, mungkin tak mengherankan apabila China mendirikan kamp-kamp penahanan—solusi lebih keras untuk memperlakukan warga Uighur yang dianggap tidak setia.
Walau dibantah pemerintah China, keberadaan kamp-kamp penahanan ini dikuatkan oleh berbagai informasi dari pejabat-pejabat China sendiri.
Dokumen pengadaan proyek pembangunan kamp-kamp yang diterbitkan pemerintah setempat telah ditemukan secara daring oleh akademisi di Jerman, Adrian Zenz.
Halaman demi halaman dokumen tersebut merinci proyek konstruksi atau pengubahan puluhan fasilitas serupa di seantero Xinjiang.
Dokumen itu juga menyebutkan permintaan pemasangan komponen keamanan secara komprehensif, seperti menara pengawas, kawat berduri, sistem pemantauan, dan kamar-kamar penjaga.
Setelah menyilangkan informasi ini dengan sumber-sumber media lain, Zenz memperkirakan sedikitnya beberapa ratus ribu hingga lebih dari sejuta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya dimasukkan ke kamp-kamp untuk diberi “pendidikan”.
Berkas-berkas tersebut tentu tak pernah menyebut fasilitas-fasilitas ini sebagai kamp penahan, tapi pusat pendidikan atau jika diterjemahkan secara akurat, “pusat pendidikan ulang”.
Salah satu “pusat pendidikan” yang disebut dalam dokumen itu hampir pasti berkaitan dengan lokasi yang kami kunjungi. Sebuah dokumen pengadaan proyek pada 2017 meminta pemasangan sistem pemanasan untuk “transformasi melalui sekolah pendidikan” di sebuah tempat di Distrik Dabancheng.
Pada kalimat-kalimat eufemisme ini serta pada satuan ukur dan kuantitas yang tampak membosankan, tersirat betapa luasnya perkembangan jaringan kamp penahan massal di Xinjiang.
“Mereka ingin menghapus identitas Uighur”
Pada 2002, Reyila Abulaiti bertolak dari Xinjiang ke Inggris untuk mengenyam pendidikan.
Dia bertemu seorang pria Inggris, menikah dengannya, menjadi warga negara Inggris, dan membentuk keluarga.
Tahun lalu, ibunya datang mengunjungi untuk menjumpai sang cucu sekaligus jalan-jalan ke London.
Xiamuxinuer Pida, 66, adalah mantan insinyur yang berpendidikan tinggi dan lama mengabdi di sebuah perusahaan BUMN China.
Dia kembali ke Xinjiang pada 2 Juni lalu.
Tapi, karena Xiamuxinuer tak kunjung memberi kabar, Reyila menelepon untuk mengecek apakah ibunya sudah sampai rumah dan baik-baik saja.
Kabar yang diterima Reyila singkat dan menakutkan.
“Dia memberitahu saya bahwa polisi menggeledah isi rumah,” kenang Reyila.
Tampaknya justru Reyila yang menjadi sasaran penyelidikan.
Xiamuxinuer mengatakan Reyila harus mengirim salinan dokumen-dokumennya, antara lain alamatnya di Inggris, salinan paspor Inggrisnya, nomor ponselnya di Inggris, dan informasi mengenai jurusannya saat berkuliah.
Kemudian setelah memaparkan semua instruksi melalui layanan pesan singkat, Xiamuxinuer mengatakan sesuatu yang membuat Reyila merinding.
“Jangan pernah menelepon ibu lagi. Jangan pernah,” ujar Reyila, meniru perkataan Xiamuxinuer.
Itulah kali terakhir Reyila mendengar suara ibunya. Dia meyakini Xiamuxinuer dimasukkan ke dalam kamp penahanan.
“Ibu saya ditahan tanpa alasan. Sejauh yang saya tahu, pemerintah China ingin menghapus identitas Uighur dari muka bumi.”
BBC melakoni wawancara panjang lebar dengan delapan orang Uighur di luar China.
Kesaksian mereka konsisten, seperti kondisi dan keseharian di dalam kamp dan mengapa orang-orang Uighur ditahan.
Kegiatan keagamaan, ketidaksetujuan terhadap pemerintah, dan keterkaitan dengan orang Uighur di luar negeri kelihatannya cukup untuk membuat warga Uighur di Xinjiang dimasukkan ke dalam kamp.
Ambil contoh, Ablet Tursun Tohti. Setiap pagi, ketika pria berusia 29 tahun itu bangun satu jam sebelum fajar, dia dan sesama tahanan punya satu menit untuk beranjak ke lapangan.
Setelah berbaris, mereka disuruh berlari.
“Ada ruangan khusus untuk menghukum mereka yang berlari tidak cukup cepat. Di dalam ruangan ada dua pria, seorang memukul dengan sabuk, lainnya menendang.”
Lapangan yang dimaksud Ablet dapat jelas terlihat pada foto kamp melalui satelit. Lokasinya terletak di Kota Hotan, bagian selatan Xinjiang.
“Kami menyanyikan lagu berjudul ‘Tanpa Partai Komunis Tidak Ada China Baru’,” kata Ablet.
“Dan mereka mengajari kami soal hukum. Jika kami tidak bisa menghapalnya dengan benar, kami dipukuli.”
Ablet ditahan selama sebulan pada akhir 2015. Dalam berbagai konteks, dia termasuk yang beruntung.
Pada awal kamp penahanan didirikan, masa “kursus” pendidikan ulang tampaknya lebih pendek. Sebab selama dua tahun terakhir ada sejumlah laporan bahwa tidak ada seorang pun yang dibebaskan dari kamp-kamp tersebut.
Ablet juga bisa dikatakan beruntung karena dia merupakan rombongan warga Uighur yang bisa meninggalkan China. Saat ini, warga Uighur sulit hijrah karena ada penarikan paspor secara besar-besaran.
Ablet memilih mengungsui ke Turki, negara yang memiliki diaspora Uighur cukup besar karena ada keterkaitan budaya dan bahasa.
Dia menceritakan bahwa ayahnya yang berusia 74 tahun dan delapan saudara kandungnya masih ditahan di kamp. “Tiada yang tersisa di luar,” ujarnya.
Abdusalam Muhemet, 41, juga menetap di Turki.
Dia pernah ditahan polisi di Xinjiang pada 2014 karena mendaraskan ayat Qur’an dalam sebuah acara pemakaman.
Pihak kepolisian belakangan memutuskan untuk tidak mengajukan dakwaan, kata Abdusalam, tapi dirinya tidak bisa dikatakan bebas.
“Mereka mengatakan saya perlu dididik,” ucapnya.
Namun, fasilitas tempatnya dididik sama sekali tidak mirip sekolah.
Melalui foto satelit, Anda bisa mendapati menara penjaga dan pagar ganda di sekeliling Pusat Pelatihan Pendidikan Hukum Han’airike.
Jika Anda memperhatikan dengan seksama bayangan pada foto itu, Anda juga bisa menemukan deretan kawat berduri.
Di dalam kamp tersebut, Abdusalam mengaku menjalani latihan fisik sekaligus perundungan dan pencucian otak.
Ali (bukan nama sebenarnya) adalah salah seorang yang takut berbicara secara terbuka.
Pada 2015, pria berusia 25 tahun itu dimasukkan ke dalam kamp setelah polisi menemukan foto perempuan memakai niqab pada ponselnya.
Namun, dia bukan satu-satunya orang yang dijebloskan ke kamp karena alasan remeh.
“Ada seorang perempuan lanjut usia yang dimasukkan ke sana karena pergi ke Mekkah. Lalu ada seorang pria tua yang tidak membayar tagihan airnya tepat waktu,” papar Ali.
Pada suatu ketika, dalam sebuah sesi latihan fisik, mobil pejabat memasuki kamp dan gerbang terbuka beberapa saat.
“Tiba-tiba, seorang anak kecil lari menuju ibunya yang sedang berlari bersama kami. Sang ibu menghampiri anaknya, memeluknya, dan mulai menangis.”
“Kemudian seorang polisi menjambak perempuan itu dan menyeret anak kecil tersebut ke luar kamp.”
Berbeda dengan suasana bersih yang ditayangkan stasiun televisi pemerintah China, kondisi kamp-kamp tersebut sangat kotor.
“Pintu asrama kami dikunci pada malam hari. Tapi tidak ada toilet di dalam. Mereka hanya memberi kami mangkuk,” kata Ablet.
Kesaksian sejumlah warga Uighur ini tidak bisa diverifikasi secara independen.
Kami sudah bertanya kepada pemerintah China mengenai tudingan-tudingan tersebut, tapi tidak mendapat jawaban.
Bagi warga Uighur di luar Xinjiang, berita mengenai kondisi di wilayah itu sama sekali kering.
Mengapa demikian? Pasalnya, ketakutan berujung pada kebungkaman.
Laporan adanya orang-orang yang dikeluarkan dari kelompok bincang keluarga di layanan pesan singkat, atau diminta jangan pernah menelepon lagi, banyak bermunculan.
Dua hal paling utama dalam kebudayaan Uighur—agama dan keluarga—dirusak secara sistematis.
Akibat penahanan sejumlah anggota keluarga, laporan-laporan menyebutkan banyak anak ditempatkan di panti asuhan yang dikelola negara.* << [BERSAMBUNG]>>