Senin, 31 Oktober 2005
Hidayatullah.com–Di sela pembagian sembako di Kantor PBNU, Jakarta, Minggu, Rozi menyatakan saat ini pihaknya belum mengetahui persis apa yang menjadi motif peristiwa itu dan siapa pelakunya.
Dikatakannya, dalam peristiwa itu yang sementara ini jelas menjadi korbanya adalah siswi sekolah kristen. "Tetapi janganlah langsung dikaitkan dengan agama, selidiki dulu dan jangan `grasa-grusu," katanya.
Hal tersebut, menurut dia, bisa menimbulkan kerawanan baru apabila salah menafsirkan peristiwanya. Oleh karena itu saat ini harapan besar ditumpukan kepada polisi untuk bekerja lebih keras dan maksimal mengungkap pelakunya, karena di antara agama-agama sudah ada gerakan moral nasional untuk menjaga persatuan dan memelihara toleransi.
Ia juga menyatakan keprihatinannya atas kembali terjadinya kekerasan di Poso dan sepenuhnya pemerintah maupun aparat keamanan harus segera menyelidiki dan menuntaskan kasus itu.
Ditanya soal kemungkinan motif berulangnya kekerasan menjelang hari besar agama Islam, ia mengaku tidak tahu persis tentang hal itu, walaupun dulu memang ada sejumlah peristiwa seperti di Banyuwangi, Ambon dan lain-lain yang peristiwanya berdekatan dengan bulan Ramadhan. "Kita belum tahu persis siapa di balik itu semua," katanya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan tiga pelajar di Poso, Sulawesi Tengah, termasuk dengan mengungkap pihak ketiga yang dinilai sengaja melakukan provokasi.
"Ini tantangan besar bagi aparat keamanan untuk menyingkap tuntas kasus ini. Dari dulu kita sarankan seperti itu. Kalau tidak tuntas, maka akan terulang lagi dan terulang lagi, karena ada pihak yang ingin mempermanenkan konflik ini," katanya.
Din menduga kuat adanya pihak ketiga yang mungkin berasal dari dalam negeri, luar negeri atau kolaborasi antara keduanya, yang mempunyai tujuan satu yakni tidak menginginkan Indonesia stabil.
Menurut Din, pihak ketiga itu punya motif politik dan ekonomi sehingga berupaya menyulut konflik keagamaan karena yang paling mudah diadu domba adalah umat beragama. "Saya tetap yakin ada kemungkinan pihak ketiga. Ini yang selama ini belum bisa ditemukan oleh kepolisian. Selama belum tuntas, saya khawatir akan terjadi lagi terutama di daerah rawan konflik yang `belum sembuh betul` seperti di Poso, Ambon, atau Mamasa. Biasanya diawali dengan perusakan rumah ibadah atau pembunuhan figur tokoh agama tertentu," katanya.
Dikatakannya, aksi pembunuhan pelajar di Poso tersebut bisa jadi sebagai upaya untuk mengulangi "Idul Fitri Berdarah" di Ambon beberapa tahun lalu. "Mereka sengaja mengulangi dengan mencari momentum di mana umat ada dalam suasana psikologis tertentu seperti saat Idul Fitri dan Natal," katanya.
Din sendiri mengaku belum mendengar adanya kasus pembunuhan tiga pelajar tersebut dan segera berupaya meminta informasi untuk mengetahui latar belakang dan motifnya, jika memang ada kaitannya dengan Muhammadiyah.
"Sebenarnya lewat pertemuan Malino untuk penyelesaian Konflik Poso, aspek keagamaan ini sudah selesai walau masih ada masalah yang terkait aspek sosial, ekonomi, pendidikan, terutama bagaimana rehabilitasi dan rekonstruksi Poso yang belum tuntas," katanya.
Oleh karena itu, ia mengimbau seluruh masyarakat khususnya umat Islam dan Kristiani di seluruh Indonesia untuk tidak terpancing dengan kasus pembunuhan tersebut.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Ginandjar Kartasasmita berpendapat, pembunuhan secara kejam atas tiga siswi sekolah menengah atas (SMA) di Poso, Sabtu (29/10), merupakan perbuatan yang sangat kejam dan patut dikutuk oleh semua umat beragama dan semua pihak yang cinta damai di negeri ini. "Perbuatan itu menodai proses perdamaian yang sedang berlangsung di Poso, serta merusak suasana damai penuh hikmat di bulan puasa yang sedang dijalankan oleh umat Islam saat ini," kata Ginandjar.
Menurut Ginandjar, tidak satu agama pun yang mengajarkan untuk melakukan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap sesama manusia, apalagi perbuatan yang sadistis seperti yang dilakukan terhadap ketiga siswi di Poso.
Kejadian tragis tersebut sama sekali tidak dapat ditempatkan dalam konteks hubungan antar-umat beragama di Indonesia, khususnya Poso. (ant)