Hidayatullah.com–Tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar Abdallah mengakui ide dan pemikirannya soal Islam liberal menjadi salah satu kendala untuk maju dalam perburuan kursi Ketua Umum PBNU di Muktamar NU Januari mendatang. Sebab, pemikiran yang dilontarkannya sudah kadung dinilai negatif oleh sebagian warga NU.
“Ya, pemikiran saya soal Islam liberal, menjadi kendala (dalam pencalonannya),” ujar Ulil, dikutip Harian Bangsa baru-baru ini.
Kendati demikian, Ulil tampak tak mau ambil pusing dengan persoalan itu. Sebenarnya, kata Ulil, gagasan dan pemikirian soal Islam liberal bukan persoalan serius dalam NU. Pasalnya, NU masih mempunyai banyak agenda kerja yang belum dituntaskan, dan itu lebih sangat penting.
Di antaranya adalah terpuruknya NU dalam bidang amal sosial, kaderisasi, pendidikan yang masih minim, ekonomi umat, dan sebagainya. “Itulah yang sebenarnya harus menjadi konsen kita untuk dituntaskan,” lanjutnya.
Menantu Gus Mus itu menambahkan, tantangan NU ke depan cukup besar. Yang terpenting, lanjutnya, adalah citra NU sebagai Islam moderat, harus dikembalikan. Dijelaskannya, saat ini label NU yang moderat, sudah mulai tergerus, sehingga posisi itu diisi oleh kalangan lain. Padahal, Islam moderat sejak dulu menjadi ciri khas NU.
“Kedepan, label itu harus kita rebut,” ungkapnya.
Ulil juga menyatakan sangat siap untuk maju dalam pemilihan Ketua Umum PBNU dalam muktamar mendatang. Dikatakan Ulil, pihaknya sudah mendekati beberapa cabang NU. Soal, pengalaman dan umurnya yang tergolong yunior, Ulil tidak merisaukannya. Sebab, tradisi NU dipimpin anak muda sangat kuat.
“Gus Dur, Kiai Mahfudz Shiddiq, dan Kiai Wahid Hasyim masih muda ketika jadi Ketua NU,” terangnya.
Sebagaimana diketahui, baru-baru ini, Ulil diundang dalam Forum Tabayyun dan Debat Terbuka yang diselenggarakan oleh Forum Kiai Muda (FKM) Jawa Timur di Ponpes Bumi Shalawat, Tulangan, Sidoarjo, Ahad (11/10). Diskusi mempertemukan kader-kader muda NU dengan Ulil Abshar Abdallah.
Tak kurang dari 500 orang hadir dalam kesempatan itu. Mereka datang dari Jember, Banyuwangi, Situbondo, Pasuruan dan Probolinggo. Seolah-olah forum itu menjadi tempat penumpahan uneg-uneg warga NU terhadap gagasan dan pemikiran Ulil mengenai Islam liberal yang diusungnya selama ini.
Debat yang dimoderatori Kiai Abdurrahman Navis itu mengangkat dua pemikirian Ulil yang sangat kontroversial, yaitu soal pluralisme agama dan kesakralan Al-Quran. FKM diberi kesempatan pertama untuk menyampaikan “uneg-uneg” terkait dengan pemikiran Ulil.
Menurut juru bicara FKM, KH.Abdullah Syamsul Arifin (Gus A’ab), tulisan-tulisan Ulil soal pluralisme agama patut disayangkan. Pasalnya, Ulil telah menyamaratakan semua agama.
Menurut Gus A’ab, pemikirian Ulil yang menyamaratakan bahwa semua agama itu benar adalah salah besar. Yang betul, katanya, orang Islam wajib meyakini bahwa agama Islamlah yang benar, walaupun keyakinan itu tidak boleh sampai menghilangkan toleransi terhadap kebenaran agama lain sesuai keyakinan penganutnya.
“Jadi jangan pernah menganggap semua agama benar. Kita harus tetap meyakini Islam itu yang benar tanpa harus menafikan kebenaran agama lain sesuai yan diyakini pemeluknya,” tukasnya Gus A’ab.
Yang merisaukan warga NU, tukas Gus A’ab, karena Ulil di mana-mana berlabel NU sehingga orang melihat pemikiran Ulil tetap tidak bisa lepas dari citranya sebagai warga NU. Bahkan intelektual NU. Padahal, dalam soal pluralisme, NU mempunyai garis yang jelas. “Kalau Ulil sudah bukan NU, ya silakan mau berkata apa saja. Tidak masalah,” katanya.
Debat semakin panas, karena pengunjung banyak yang berteriak ketika Ulil lagi-lagi menghindari pernyataannya sendiri di berbagai tulisannya. Padahal, FKM membawa segepok foto-kopi tulisan Ulil yang berisi pemikiran kontroversial itu.
Ketika terpojok, Ulil malah menyandarkan diri kepada Gus Dur. “Sebenarnya pemikiran soal pluralisme sudah diungkap oleh Gus Dur, kenapa baru sekarang ramai,” ungkapnya. [hrb/cha/hidayatullah.com]