Hidayatullah.com–Munculnya berbagai aliran sesat di Indonesia dipengaruhi banyak faktor. Salah satu faktor yang sering terjadi penggunaan hukum selain al-Qur’an dan sunnah. Hal tersebut sudah dipastikan berujung pada kesesatan.
Pernyataan tersebut mengemuka dalam diskusi Sabtuan INSISTS Sabtu (22/10) di Gedung GIP. Jl. Kalibata Utara II. Diskusi dengan tajuk “Sebab-sebab Munculnya Aliran Sesat” ini diisi peneliti INSISTS, DR. Ahmad Zain An-Najah. Hadir puluhan peserta dari berbagai kalangan.
Doktor bidang syariah dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir dengan predikat summa cum laude ini mengatakan, sumber-sumber yang kerap mengakibatkan orang tersesat itu adalah ilham, alkasyfu, mimpi, ilmu laduni, dan adat istiadat. Berbagai sumber tersebut dianggap keramat dan diimani menjadi sesuatu ajaran baru.
Seperti ilham, ujar An-Najah, ada banyak orang yang merasa mendapat ilham, lalu menganggap itu datang dari Allah dan dijadikan sebagai ajaran baru. Padahal, ajaran tersebut tidak ada tuntunan dalam al-Qur’an maupun sunnah.
Begitu juga dengan mimpi, ada orang yang memperoleh mimpi dan menjadikan hasil mimpi tersebut ajaran baru. Seperti jamaah Al-‘Arqam di Malaysia. Jamaah ini, ujar An-Najah, awalnya karena mimpi.
Dalam mimpi tersebut, dia bertemu Nabi dan diajarkan zikir-zikir baru. Zikir baru tersebut dibukukan dan dijadikan sesuatu ajaran baru. “Ini kan sesat. Apa yang diajarkan Nabi telah sempurna dan usai. Mustahil Nabi mengajarkan lagi, apalagi lewat mimpi,” ujarnya.
Ilmu laduni juga tak jarang membuat orang sesat. Kata An-Najah, ilmu laduni hakikatnya ketakwaan seseorang. “Wattaqullah, wayu’allimukullah, Orang yang takwa,” ujar An-Najah, “biasanya diberikan Allah kelebihan. Tapi, sayangnya salah persepsi dan penggunaannya.”
Kini ada sebagian orang yang menganggap memiliki ilmu laduni justru dari nabi Khidir, nyai Roro Kidul, dan sebagainya. Sebagaimana cerita Nabi Khidir dan Nabi Musa tentang membunuh anak, melobangi kapal, dan membangun rumah. Ada yang menganggap diberi kemampuan Nabi Khidir sehingga punya kemampuan prediksi, ramal, ritual, dan sebagainya. Padahal hal itu tidak ada tuntunan dalam Islam.
Terakhir, ujar An-Najah, banyak tradisi di masyarakat yang dianggap sebagai hukum. Seperti yang terjadi di Indonesia beberapa dekade silam, jarang sekali orang pakai jilbab. Tradisi tersebut kemudian dianggap sebagai hukum. Padahal, jelas dalam al-Qur’an kewajiban bagi perempuan menutup aurat dengan memakai jilbab.
An-Najah menyimpulkan, berbagai penyimpangan pemahaman itu karena minimnya penguasaan terhadap ilmu agama Islam, terutama bahasa Arab. Banyak umat Islam yang tidak paham bahasa Arab. Hal itu bisa mengakibatkan pada pemahaman yang salah.
Apalagi, ujar Najah, ditambah masyarakat yang malas belajar agama. “Mereka lebih rela berdiri berjam-jam demi joget melihat dangdutan daripada duduk di majelis taklim mendengarkan ceramah agama,” ujarnya. Karena itu, An-Najah berpesan, mencegah aliran sesat hanya dengan belajar agama Islam secara baik dan benar. [ans/hidayatullah.com]