Hidayatullah.com – – Diberlakukannya Syariat Islam di Nanggro Aceh Darussalam (NAD) sebagai hukum resmi menjadi fenomena hukum postif di Indonesia.Sebelum secara resmi diberlakukan muncul banyak kekawatiran baik dari masyarakat Aceh sendiri maupun di luar bahwa pelaksanaan syariat (qanun) tersebut akan sangat kejam dan menakutkan. Namun semua kekhawatiran itu tidaklah terbukti.
Menurut Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Prof.Dr.Muslim Ibrahim, MA mengungkapkan, kekawatiran muncul terutama dari kalangan pegiat hak asasi manusia (HAM) baik dalam maupun luar negeri. Alasan mereka klasik bahwa syariat Islam sudah tidak relevan dengan peradaban manusia.
“Anggapan mereka hukum positif sekarang ini jauh lebih manusiawi dan bisa mencerminkan rasa keadilan ketimbang hukum “produk impor” dari jazirah Arab,” ujarnya kepada hidayatullah.com di sela acara mengikuti Musyawarah Ulama Ummat di Bandung, Ahad (22/4/2012).
Akibat rasa khawatir berlebihan dari Barat, ujungnya munculnya desakan baik dari individu hingga lembaga agar syariat Islam tidak diberlakukan di Serambi Mekah tersebut.
Lebih jauh phobia mereka berasalan jika syariat Islam berlaku di bumi Aceh maka akan memunculkan kecemburuan di wilayah lain di Indonesia untuk ikut menerapkan juga syariat Islam.Dengan diberlakukannya otonomi daerah maka potensi tersebut terbuka lebar meski dengan kondisi sosial budaya yang berbeda.
Tekanan Asing
Salah satu bukti intervensi Barat, menurut Dr Muslim, menjelang pelaksanaan syariat Islam, Gubernur Aceh di panggil ke markas PBB di New York Amerika Serikat.Namun urung hadir dan hanya diwakili stafnya.Kondisi tersebut membuat mereka tidak puas yang akhirnya turun langsung ke Aceh dengan mengirim 4 stafnya.Mereka melihat, memantau dan berdialog dengan masyarakat maupun pejabat termasuk para ulama setempat.
“Waktu saya yang pimpin dialog dengan mereka.Kami jelaskan panjang lebar apa itu syariat Islam yang hendak diberlakukan di Aceh.Akhirnya mereka mengerti dan justru balik mendukung kita,” kenang Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) ini.
Meski banyak tekanan, fakta membuktikan pelaksaan qanun di Aceh hingga kini tidak menimbulkan gejolak apapun seperti yang ditakutkan kaum pegiat HAM, khususnya Amnesty Internsional. Muslim juga menampik tegas jika pelaksanaan qanun tersebut terkesan dipaksakan dan masyarakat juga terpaksa menerima.
“Tak ada itu, tak benar, masyarakat Aceh suka rela,senang hati menerima itu. Qanun itu kita laksanakan tidak serampangan,main hakim sendiri,semua ada aturannya,tidak asal cambuk rame-rame,main tangkap orang sembarangan,bukan begitu,semua sesuai syariat,”jelasnya penuh semangat.*