Hidayatullah.com—Kasus penangkapan Ali Zainal Abidin di Purbalingga pada hari Ahad (16/12/2012) diduga sebagai upaya pembusukan pondok pesantren. Demikian salah satu rilis Direktur The Community of Islamic Ideological Analyst (CIIA), Harist Abu Ulya yang dikirim ke kantor redaksi hidayatullah.com, Senin (17/12/2012).
Seperti diketahui, Detasemen Khusus (Densus ) 88 Antiteror hari Ahad telah menangkap terduga kasus terorisme dengan inisial AL (Ali Zaenal Abidin) di daerah Gemuruh, Purbalingga Lor, Purbalingga, Jawa Tengah.
Polisi menyatakan AL dari kelompok jaringan Farhan yang pernah disergap Densus 88 dan tewas pada September 2012 di Solo, Jawa Tengah.
Menurut Harits, sebenarnya proyek “war on terrorism” (wot) yang sebelumnya dikumandangkan AS dan sekutunya sudah tidak lagi relevan. Bahkan ketika proyek iuni hendak diulang di wilayah Suriah, dunia Islam rupanya sudah mulai paham drama konyol dan licik AS ini.
“Tapi yang aneh, dilevel domestik Indonesia knapa proyek WOT ini terus dijalankan oleh BNPT dan Densus88? Hanya karena alasan terkait dan diduga, seseorang di tangkap dan diekspos kepublik sebagai terduga teroris,” demikian tulisnya.
Menurut Harist, continuitas proyek dengan sasaran para aktifis dengan alasan “teroris” mengisaratkan adanya upaya dan langkah pembusukan institusi pesantren serta kriminalisasi aktifis. Bidikan besarnya adalah memberangus gerakan-gerakan dakwah Islam yang dianggap sebagai ancaman potensial ke depan bagi tatanan sistem demokrasi. Karenanya, ia meminta umat harus sadar akan masalah ini.
Santri Baru
Sementara itu, pimpinan Pondok Pesantren El-Suchary KH. Ahmad Thoha Makhsun ikut memberi penjelasan terkait penyebutan nama pondok pesantrennya. Dalam pernyataan yang dikirim ke kantor redaksi hidayatullah.com, Ahmad Toha menjelaskan pemberitaan sebuah situs nasional tertanggal 16-12-2012 dengan artikel berjudul “Terduga Pelaku Teror di Solo Ditangkap di Ponpes”.
Menurutnya, pihaknya mengaku keberatan pemberitaan penangkapan di lokasi pesantren.
“Kejadian penangkapan bukan di Pesantren melainkan di luar pesantren, berita dusta ini hanya di beritakan di Kompas saja sedangkan media yang lain memberitakan kejadian sebenarnya bahwa penangkapan terjadi di luar pesantren,” tulisnya.
Ahmad Toha menilai, media yang dimaksud berusaha menggiring opini publik untuk berpandangan negatif terhadap pesantren, khususnya pesantrennya.
Menurut Toha, terduga merupakan santri baru yang masih dua bulan berada di pesantrennya.
“Dia ditangkap terkait dugaan peristiwa Solo yang terjadi jauh sebelum masuk pesantren kami.”
Bahkan dirinya mengaku kaget jika menjadi target Densus 88.
”Kami keberatan dengan pemberitaan yang cenderung tendensius, menyebarkan kebencian dan menyudutkan pesantren kami sekalipun tidak menyebut nama pesantren,” ujar Ahmad Toha.*