Hidayatullah.com–Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali menyampaikan alasan bahwa pemindahan warga pengikut Tajul Muluk dari Sampang ke Rumah Susun di kawasan Sidoarjo, belum lama ini, dilatarbelakangi rasa kemanusiaan.
“Rasa kemanusiaan yang harus dikedepankan, karena pengikut Tajul Muluk – yang kemudian disebut sebagai kelompok syiah – sudah 10 bulan berada di gelanggang olahraga (GOR) setempat,” kata Suryadharma Ali kepada pers seusai memberi bantuan kepada empat kebupaten di Madura sebagai program percepatan pembangunan di kawasan terebut, di Sampang, Selasa (02/07/2013) dikutip laman Kemenag.
Tinggal di pengungsian selama itu tentu dari sisi kesehatan, kehidupan ekonomi dan pendidikan bagi anak tentu sangat terganggu. Pemerintah sendiri berkeinginan para pengungsi yang diperkirakan sekitar 171 orang dapat kembali ke kampung halamannya.
Tapi, lanjut Menag, tidak mungkin pihak kepolisian harus bekerja 24 jam di lokasi. Itu juga jadi persoalan. Sesungguhnya dari sisi ekonomi, membangun rumah yang rusak akibat pertikaian dua kelompok berbeda paham keagamaan itu tentu tidak terlalu berat. Apa lagi bangunannya semi permanen. Tapi, kata Menag lagi, tidak mungkin aparat bekerja di lokasi bekas kerusuhan selama 24 jam.
Menjadi hak setiap warga untuk kembali ke kampung halamannya. Pemerinah berkewajiban untuk melindungi itu. Tetapi selama kondisi setempat belum kondusif, tentu sukar pemindahan ke kampung halaman dapat dilakukan.
Menag berharap pemindahan warga tersebut ke Sidoarjo jangan dipahami bahwa pemerintah mengabaikan hak warga pengikut Tajul Muluk. Justru pemindahan mereka ke rumah susun dalam rangka kemanusiaan. Sudah berapa lama warga itu terabaikan hak kesehatan baik secara lahiriah maupun jasmaniah.
“Jadi, tentu saja pemindahan itu bukan langkah yang permanen. Jika situasi di Sampang sudah kondusif tentu saja mereka itu dapat kembali ke kampung semula,” kata Menag.
Terkait dengan peristiwa tersebut, ulama dan masyarakat Madura mengeluarkan pernyataan tentang kelompok Tajul Muluk itu, yang berisi bahwa relokasi kelompok warga Tajul Muluk sudah menjadi keputusan final dari para ulama dan masyarakat Madura, dalam menjaga keamanan dan ketertiban terutama bagi warga Karang Gayam.
Hal ini sudah terbukti secara hukum bahwa ajaran Tajul Muluk merupakan penodaan dan penistaan agama. Upaya pengembalian Tajul Muluk ke kampung halamannya justru akan mengganggu kondusifitas secara keseluruhan.
Untuk itu, pertama, mereka menolak pengembalian pengikut Tajul Muluk ke Madura kecuali mereka menyatakan kembali ke ajaran semula (Islam Ahli Sunnah Wal Jamaah). Kedua, para ulama minta Menag ikut andil dalam program pemberdayaan masyarakat Madura, khususnya di daerah konflik di kawasan Karang Gayam.
Ketiga, memnta pihak terkait untuk bekerja sama dan membangun koordinasi demi penyelesaian konflik tersebut. Keempat, meminta pihak luar agar tidak melakukan provokasi berupa opini secara terus menerus sehingga memperkeruh kondisi damai dan aman yang sudah tercipta di Madura.
Pernyataan itu ditandatangani: Pengasuh Ponpes Darus Ulum Sampang KH Saifuddin Abd Wahid, Pengasuh Ponpes Al Hikam Burneh Bangkalan, KH Nuruddin A Rahman, Pengasuh Ponpes Al Mujtama Pamekasan, KH Abd Gofar, Ketua Komisi B DPRD Sumenep KH M. Unai Ali Hisyam.
Bantuan
Selain itu, Kementerian Agama juga membidangi penyelenggaraan pembangunan pendidikan agama dengan kucuran dana sekitar Rp 68,388 miliar.
Peruntukan dana tadi bagi empat kabupaten pun bervariasi. Seperti Sampang yang dikucuri dana sebesar Rp 19,698 miliar untuk rehab bangunan madrasah diniyah serta bantuan operasional. Kabupaten Bangkalan diganjar dana sebesar Rp 13,430 miliar untuk madrasah dan halaqoh ulama. Lalu, Kabupaten Pamekasan diberi Rp 17,703 miliar serta Kabupaten Sumenep sebesar Rp 17,556 miliar.
“Basis agama Islam di Madura sangat kuat. Cara ini untuk mengatasi munculnya paham lain karena pengaruh liberal. Namun, Pak Kiai saya mohon juga dibantu dengan solusi tepat melalui dialog dan pelurusan ajaran,” tegas Menag.
Mengenai relokasi, saat ini jumlah total warga Syiah di tempat relokasi, tambah sudah bertambah dari 58 keluarga menjadi 63 keluarga, atau dari 151 jiwa kini menjadi 171 jiwa. Mereka per 19 Juni 2013 lalu dipindahkan dari GOR Sampang. Keberadaan mereka di GOR tersebut merupakan buntut dari kerusuhan yang terjadi di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang, pada Agustus tahun lalu.
Mereka kini mulai menempati rumah susun di Kompleks Pasar Puspa Agro, Desa Jemundo, Kecamatan Taman, Sidoarjo. Sebanyak 162 warga Syiah terdiri dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak tersebut menempati 72 kamar di rusun yang sebenarnya disediakan khusus bagi pedagang pasar itu.*