Hidayatullah.com– Sidang lanjutan gugatan atas Undang-Undang nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, menghadirkan pihak terkait dari lembaga Indonesia Halal Watch (IHW), Senin (29/05/2017).
Dalam perkara nomor 5/PUU-XV/2017 tersebut, Direktur IHW Ikhsan Abdullah mengatakan, gugatan yang diajukan Paustinus Siburian adalah suatu yang keliru.
Ia menjelaskan, apa yang dikhawatirkan pemohon pada dasarnya telah dibahas pada saat penyusunan undang-undang tersebut.
Ikhsan mengungkapkan, kekeliruan itu terletak pada maksud mandatori (wajib) halal yang di sangkakan pemohon. Padahal, kata dia, yang diatur adalah mandatori sertifikasi halal yang diikuti dengan labelisasi halal.
“Di sinilah letak kekeliruan atau persepsi pemikiran pemohon,” ujarnya.
Mengenai hal itu, tambahnya, telah dibahas dan diperdebatkan secara panjang dan lebar kurang lebih selama sembilan tahun oleh para anggota dewan yang menolak kehadiran Undang-undang JPH.
“Kekhawatiran mereka seolah-olah nanti setelah berlakunya UU JPH tersebut produk yang boleh beredar di Indonesia hanyalah produk yang halal saja, sementara yang tidak halal tidak boleh beredar,” ungkapnya.
Ikhsan memaparkan, dalam pembuatannya UU tersebut dimaksudkan untuk melindungi konsumen umat Islam dari produk yang haram. Sehingga semua produk barang dan jasa yang tidak halal pun boleh beredar. Hanya saja untuk barang dan jasa yang halal akan diberi labelisasi halal.
Adapun untuk produk yang jelas keharamannya, sambung Ikhsan, seperti minuman keras dan daging babi, tidak masuk dalam kategori yang wajib disertifikasi halal.
“Mau seratus kali sertifikasi pun tidak akan menjadi halal,” tandasnya.
Sebelumnya, seorang advokat non-Muslim, Paustinus Siburian mengajukan gugatan terhadap UU JPH tersebut karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur kebebasan beragama dan beribadat menurut agama masing-masing.
Menurut Paustinus, dengan adanya UU JPH tersebut, seolah-seolah semua agama meminta jaminan kehalalan atas produk, padahal dalam agama pemohon tidak mengatur adanya persyaratan mengenai kehalalan terhadap suatu produk.*