Hidayatullah.com–Menjelang penutupan lokalisasi yang dulu pernah disebut terbesar se-Asia Tenggara, Dolly, Pemprov Jatim telah mencairkan dana untuk para mucikari.
Hal itu diungkapkan Gubernur Jatim Soekarwo seusai sidang paripurna penyerahan laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK di gedung DPRD Jatim Senin, (16/06/2014).
“Total ada 311 mucikari yang kami data untuk diberi ganti rugi,” ujarnya dikutip JPNN. Tiap mucikari tersebut akan mendapatkan Rp 5 juta untuk modal usaha lainnya.
Selain itu, Soekarwo menyebutkan bahwa Kementerian Sosial telah mencairkan anggaran Rp 8 miliar sebagai ganti rugi terhadap para Wanita Tuna Susila (WTS).
“Sedangkan Pemkot Surabaya sebagai ujung tombak sekaligus untuk penataan wilayah pasca penutupan lokalisasi tersebut,” kata orang nomor satu di jajaran pemerintahan Jatim tersebut.
Soekarwo menjelaskan, rencana penutupan itu sudah final, artinya sudah tidak mungkin berubah lagi. Namun, Soekarwo juga mengungkapkan bahwa Kementerian Kesehatan sempat meminta rencana penutupan tersebut diundur terlebih dahulu. Dengan alasan untuk kontrol sekitar 192 WTS yang diketahui positif mengidap HIV, yakni virus AIDS.
“Pertanyaan yang banyak ditujukan kepada kami mengerucut pada dua hal. Yang pertama, akan diapakan lokalisasi Dolly. Dan yang kedua, apakah penutupan tersebut sebenarnya hanya menyembunyikan kotoran di bawah karpet? Karena prostitusi kini makin terselubung,” jelas Soekarwo panjang lebar.
Untuk yang pertama, terang gubernur, itu merupakan kewenangan wali kota Surabaya untuk mengaturnya. Mau dijadikan sebagai kawasan industri, kawasan permukiman, atau kawasan apa pun, itu adalah hak wali kota.
“Karena yang punya tata ruang kan pemkot. Yang paling tahu baiknya itu mau dijadikan kawasan apa ya pemkot sendiri,” tambahnya.
Untuk pertanyaan nomor dua, yakni ke mana para WTS tersebut akan menyebar, Soekarwo mengatakan bahwa pihaknya akan bekerja sama dengan semua pihak.
“Seperti saat menerima perwakilan BEM mahasiswa beberapa waktu lalu. Mereka menanyakan hal serupa dan ganti saya tanya kenapa kalian-kalian tidak datang dengan membawa konsep pendampingan yang konkret. Saya pasti akan mau mengakomodasi bila kalangan mahasiswa bisa menjadi pendamping agar para WTS ini tidak kembali ke jalan semula,” ucapnya.
Soekarwo mengakui, yang paling berbahaya dari lokalisasi adalah rusaknya mental WTS. Karena terbiasa mendapatkan uang dengan cara yang relatif mudah, ketika bekerja halal (yang lebih berat dan penghasilan lebih sedikit), mereka pun gampang menyerah.
“Makanya, kami melakukan koordinasi dengan pemkot/pemkab untuk melakukan pendampingan dari daftar nama WTS yang telah dipulangkan. Mereka tetap harus dibantu agar bisa meninggalkan masa lalunya yang kelam,” tuturnya.
Sebab, bagaimanapun pelacuran bukan sebuah solusi, melainkan jaring lingkaran setan yang harus segera diputus.
“Jauh lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya,” tegas Soekarwo.
Bagaimana persiapan Pemkot Surabaya menjelang deadline penutupan besok? Tak ada kata mundur. Pemkot bahkan sudah memastikan bahwa deklarasi penutupan lokalisasi Dolly-Jarak berlangsung pada 18 Juni di Islamic Center . Undangan untuk deklarasi pun sudah mulai disebarkan kemarin.*