Hidayatullah.com– Metode pembelajaran ilmu tafsir al-Qur’an di berbagai Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dikritisi oleh Prof Dr Imam Suprayogo, mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Menurutnya, untuk mempelajari tafsir para mahasiswa harus memahami bahasa Arab dahulu. Sedangkan di berbagai IAIN tidak demikian.
“Kita ini kadang-kadang ndak lurus yah. Seperti di IAIN-IAIN itu, diajari tafsir, ilmu tafsir sampai 8 SKS. Pokoknya banyak. Tapi anak yang diajari itu ndak ngerti bahasa Arab. Wong anak ndak bisa bahasa Arab kok diajarin tafsir? Itu tafsir apa gitu loh?! Jangankan 8 SKS, ditambahi 2 SKS (jadi) 10 SKS, (lalu) 12 SKS, 16 SKS, 20 SKS, kalau orangnya ndak pintar (bahasa Arab sama saja. Red),” ujarnya saat memenuhi undangan Baitul Maal Hidayatullah (BMH) di Kalimulya, Depok, Jawa Barat, Rabu (25/6/2014).
Imam mengatakan, bahasa adalah alat, dan bahasa Arab adalah alat untuk mempelajari tafsir. Sehingga, kalau belajar tafsir tanpa bahasa Arab, maka tak akan bisa sampai kapan pun. Dia pun mengiaskan pentingnya alat dalam sebuah pekerjaan.
“Kerja apa saja itu pakai alat. Wong cari ikan aja ke sungai pakai alat kok, pakai pancing atau pakai jaring. Kalau cari ikan ke sungai lalu ndak pakai jaring, ndak pakai pancing, (tapi) pakai tangan, coba, apa iya bisa ketemu ikannya itu? Ya ketemu, tapi ikan yang sakit-sakit itu atau yang mati,” ujarnya berguyon, disambut tawa peserta acara Curah Gagasan Konsep Pendidikan Berbasis Kebutuhan Global Menuju Indonesia Memimpin.
“Yang saya jadi heran itu, pikiran-pikiran para rektor itu diletakkan di mana? Kok hanya bilang banyaknya (SKS) itu loh. Wong orang ndak tahu, ndak punya alat, kok lalu kemudian disuruh mencari yang seharusnya pakai alat itu. Untuk memahami al-Qur’an ya pakai bahasa Arab itu,” lanjutnya menegaskan.
Yang Beda di UIN Malang
Imam lantas memaparkan, saat menjadi rektor UIN Malang, dia menekankan kepada para mahasiswanya untuk belajar bahasa Arab dahulu baru belajar ilmu tafsir. Bahkan dia mencari pengajar langsung dari luar negeri.
“Logika kita ini mengatakan bahwa untuk bisa tafsir, bisa ulumul qur’an pakai bahasa Arab. Kan gitu kan. Tapi kita kok berani-beraninya nyalahi logika kita sendiri gitu loh?! Karena itu, kalau saya, sebelum (mahasiswa) diajarin tafsir, sebelum diajari hadits, maka harus belajar bahasa Arab dulu,” ujarnya.
Imam menuturkan, “Kalau bahasa Arab dua hari ndak bisa, tiga hari. Kalau tiga hari ndak bisa, ya empat hari. Kalau empat hari ndak bisa, lima hari. Kalau lima hari ndak bisa, ya enam hari, tujuh hari, sehari-hari, sampai bisa. Mahasiswa lalu tanya, ‘Kalau setiap hari belajar lima jam itu berapa SKS, Pak?’ (Saya jawab,) ‘Lah aku sudah ndak paham SKS. Yang saya pahami kamu tuh ndak ngerti bahasa Arab, ayolah belajar!’.”
Di kampusnya pun, bebernya, dia memadukan antara tradisi pesantren dengan tradisi universitas. Tujuannya tentu agar para mahasiswanya bisa memahami dan menjalankan ajaran Islam secara utuh. Tidak setengah-setengah layaknya kaum liberal.
“Karena itulah kalau saya, tak kombinasikan tradisi saya itu antara tradisi pesantren, tradisi universitas, (jadi) universitas pesantren. Seluruh mahasiswa saya itu harus bertempat tinggal di situ. Lalu kemudian dia ngaji, ya shalat jamaah, ya shalat malam mendoakan orangtuanya tengah malam,” tutur pria yang 16 tahun memimpin UIN Malang ini.
Imam menjelaskan, empat hal penting yang harus ada dalam pendidikan, yaitu tilawah, tazkiyah, taklim, dan hikmah. Empat poin ini diambilnya dari al-Qur’an.
“Karena itu dulu di pesantren, para kiai itu tengah malam bangun, ambil air wudhu, shalat malam, lalu mendoakan keluarga dan santri-santrinya. Ini adalah bagian daripada tazkiyah,” ujarnya.
Sementara saat ini, kritiknya lagi, apa masih ada guru-guru yang bersikap seperti para kiai tersebut. Palingan justru hanya mementingkan terselesaikannya kurikulum tanpa peduli empat poin tersebut.
“Kita ini kan baru tilawah yang sedikit-sedikit ini. Tazkiyah-nya ndak kita lakukan. Tapi kalau Islam menurut saya ya empat hal kayak begini ini, itu harus dilakukan. Dan itulah Hidayatullah menurut saya bisa melakukan seperti itu,” ujarnya pada acara yang berlangsung di aula Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Hidayatullah itu.*