Hidayatullah.com– Pendiri Sekolah Master Indonesia (SMI) Nurrochim menilai, pemerintah belum terlalu memperhatikan pendidikan anak-anak jalanan (anjal). Olehnya, dia berharap peran aktif masyarakat terhadap kaum marginal tersebut, tanpa harus menunggu peran negara.
“Mereka (anak jalanan) ini orang-orang yang nggak punya tanah air. Air beli, tanah kontrak. Kalau nungguin negara, sampai lebaran kodok baru mereka (bisa) sekolah,” ujarnya. Padahal, seperti diketahui bersama, kodok tidak berlebaran.
Nurrochim mengatakan, anjal sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) merupakan tanggung jawab negara. Jika negara tak kunjung memperhatikan lebih serius PMKS, problemnya akan lebih besar ke depan.
“Akan menjadi bencana nasional kalau PMKS makin banyak,” ujarnya saat ditemui hidayatullah.com di kantor Yayasan Bina Insan Mandiri (YABIM), kawasan Terminal Terpadu Depok, Margonda, Depok, Jawa Barat, Kamis (17/7/2014).
Sebagai bukti ‘bencana’ tersebut, Nurrochim menyebut fenomena maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak saat ini. Dia menilai, para pelaku kasus tersebut bertindak demikian karena mereka adalah korban kasus serupa pada masa lalu.
Ia mencontohkan Babe Baikuni yang dikenal dengan sebutan ‘Babe’. Aksi keji Babe yang belasan tahun melakukan sodomi, pembunuhan, dan mutilasi terhadap anak-anak ini sempat heboh pada tahun 2010. Di masa kecilnya saat berusia 12 tahun, Babe diketahui merupakan korban sodomi.
Nurrochim menjelaskan, anjal terdiri dari berbagai macam jenis dan latar belakang. Mulai faktor broken home, ekonomi sulit, keluarga yang tak ada ibu-bapaknya, anak yang orangtua memang anak jalanan, hingga anjal yang dijadikan komoditi.
“Suatu saat, 10-15 tahun akan datang mereka akan (bisa) jadi pelaku kejahatan. Pengalaman buruknya akan diperagakan ulang di kemudian hari itu,” ujarnya mewanti-wanti.
Cegah dengan Pendidikan
Guna menghindari ‘bencana nasional’ tersebut, Nurrochim berpendapat, pendidikan anjal harus diperhatikan sejak kini oleh segenap kalangan. Kalaupun tanpa dukungan penuh pemerintah, swasta tetap dapat berperan.
Misalnya, sebut dia, melakukan sinergi antar berbagai lembaga sosial dan pelayanan zakat swasta dengan lembaga-lembaga pendidikan non-negeri.
“Problem ini saya jadikan isu bersama, bahwa untuk memerangi kebodohan, kemiskinan ini bukan hanya tanggung jawab negara,” ujarnya menyebut salah satu pemikiran dasarnya dalam mendirikan dan mengelola SMI.
SMI merupakan lembaga pendidikan khusus kaum marginal dan dhuafa. Di kampus SMI Depok, saat ini terdapat lebih dari 2000 orang murid dari berbagai tingkatan pendidikan. Sejak tahun 2006 hingga kini, SMI telah meluluskan murid SMP-SMA sekitar 800-1000 orang per tahun. Mereka telah menyebar di berbagai lembaga dan perguruan tinggi.
Nurrochim mengakui, Pemerintah Kota (Pemkot) Depok selama ini sudah memberikan sumbangsih bagi pendidikan para anjal di SMI. Termasuk peran Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail pada 2013. Saat itu ramai diberitakan bahwa kompleks SMI di Terminal Depok akan digusur pemerintah. Nur Mahmudi pun mengeluarkan statemen yang menjamin tidak akan menggusur SMI.*