Hidayatullah.com- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH. Ma’ruf Amin mengatakan bahwa Ijtima Ulama itu digelar dalam rangka untuk menjawab persoalan-persoalan keumatan dengan melalui fatwa-fatwa menurut pandangan syariah.
“Syariah itu bisa untuk memperbaiki keadaan umat dan memberikan solusi terhadap problematika yang terjadi di dalam kehidupan ini,” kata Kiai Ma’ruf saat memberikan sambutan dalam acara ta’aruf Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia Kelima di Pesantren At-Tuhiddiyah, Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah, Ahad (07/06/2015) malam.
“Karena itu jangan takut dan khawatir terhadap semua problematika umat, sebab semua akan dibahas dalam ijtima tetapi sesuai dengan yang telah diagendakan,” imbuh Kiai Ma’ruf.
Dalam pembahasan ijtima’, kata Kiai Ma’ruf, terkadang hasil rekomendasi bisa disepakati kesimpulannya tetapi terkadang tidak bisa, karena terjadi perbedaan seperti yang pernah terjadi ketika membahas soal rokok di Padang Panjang.
“Itu akhirnya tidak ada kesepakatan dan justru terjadi perbedaan antara pendapat haram dan makruh untuk rokok. Karena tidak ada kesepakatan maka akhirnya kita putuskan hukum rokok menurut ijtima majelis ulama adalah khilafi,” ujar Kiai Ma’ruf.
Tetapi sayang, lanjutnya, wartawan saat menulis beritanya mengatakan hukum rokok, itu dalam kesepatakan ijtima majelis ulama adalah khilaf.
“Itu kacau kalau seperti itu, itu keliru. Khilaf di situ maksudnya khilafiyah adalah adanya perbedaan pendapat antara yang mengharamkan dan yang memakruhkan,” cetus Kiai Ma’ruf.
Selain itu, Kiai Ma’ruf menyampaikan, bahwa kesimpulan ijtima itu juga ada yang bisa ditindak lanjuti, ada pula yang tidak bisa ditindak lanjuti, misal seperti ketika membahas nikah siri saat ijtima ulama di Gontor.
“Ketika dibahas memang nikah sirri itu tidak dilarang asal memenuhi syarat dan rukunnya, itu sah. Tetapi ketika di tengah jalan menelantarkan anak dan istrinya maka hukumnya walaupun sah tetapi haram. Jadi hukumnya sah tapi haram,” tegas Kiai Ma’ruf.
Nah, selanjutnya supaya tidak haram dan bisa ditindak lanjuti, imbuh Kiai Ma’ruf, disepakati agar mendaftarkan dan mencatatkannya ke KUA, terkait dengan rekomendasi soal nikah sirri dari ijtima itu.
“Tapi, rekomendasi itu ketika diproses ternyata tidak bisa sebab ada undang-undang yang menyebutkan jika nikah yang kedua itu harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari istri yang pertama. Nah itu yang susah, meminta izin sama istri yang pertama. Karena itu kemudian muncul pendapat untuk mencabut pasal itu dan hingga sampai sekarang rekomendasi ijtima ulama itu tidak bisa ditindak lanjuti,” pungkas Kiai Ma’ruf.*