Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Musthafa Luthfi
FAKTOR ketiga, adalah terkait dengan mantan Presiden Ali Abdullah Saleh yang telah kehilangan sekutu utamanya di negara-negara Teluk. Upaya Saleh yang telah berkuasa secara otoriter lebih dari tiga dekade di Yaman untuk terus ”bermain api” dinilai sebagai bentuk sikap putus asa karena kehilangan sekutu dan tidak didukung mayoritas rakyat Yaman.
Faktor keempat, yang oleh banyak pengamat dinilai sebagai faktor terpenting adalah mengendornya dukungan Iran terhadap Al-Hautsi. Hal ini disebabkan karena negeri Syiah itu merasa bahwa secara geografis dan sikap internasional, tidak mampu lagi menancapkan pengaruhnya di Yaman dan merasa gagal memanfaatkan milisi Hautsi untuk menggabungkan Yaman dalam kelompok negara Arab loyalis Iran.
Dengan demikian, kendala satu-satunya yang mungkin dapat mengganggu perundingan Jenewa adalah mantan Presiden Saleh. Belum ada kepastian apakah ”singa tua” ini siap berunding untuk mencapai penyelesaian politis atau siap berunding untuk sekedar sarana untuk rehat sejenak sebelum melanjutkan perang.
Sejumlah analis menilai di tangan Seleh lah akan muncul kejutan yang ditunggu-tunggu rakyat Yaman. Beberapa informasi menyebutkan bahwa dia siap mengasingkan diri keluar Yaman yang berarti sebagai kejutan positif karena akan membuka peluang lebar bagi penyelesaian politis.
Atau sebaliknya kejutan buruk, bila dia tetap ingin melanjutkan perang habis-habisan meskipun akan bernasib seperti pendahulunya penguasa Libya, Muammar Kaddafi. Pasalnya bila Saleh menolak ikut serta di Jenewa itu pertanda buruk karena akan terjadi perang lebih dahsyat dengan musuhnya bahkan dengan sekutunya sekarang Hautsi bila Hautsi nantinya mencapai kesepakatan dengan pemerintahan Hadi.
Lebih kondusif
Idealnya semua pihak bertikai di Yaman dapat memanfaatkan pertemuan Jenewa tersebut untuk mencari solusi damai yang diterima semua pihak dan sebagai sarana untuk membahas penerapan resolusi PBB nomor 2216. Pelaksaaan resolusi itu tidak semudah membalik telapak tangan mengingat peliknya situasi di negeri Ratu Bilquis itu.
Barangkali itu sebabnya pemerintahan Mansyur Hadi bersedia berunding di Jenewa tanpa besikukuh agar seterunya melaksanakan terlebih dahulu resolusi tersebut sebagai pra syarat sebelum memutuskan ikut serta. Pertemuan Jenewa adalah tempat yang lebih kondusif untuk membahas masalah tersebut.
Sebagai contoh ketika penerapan resolusi tersebut menyangkut penyerahan semua senjata yang dikuasai Hautsi, tentunya masih terdapat tanda tanya kepada pihak mana senjata diserahkan mengingat mayoritas petinggi militer dan angkatan bersenjata Yaman loyal terhadap mantan Presiden Saleh. Kemudian siapa yang akan mengawasi penyerahan senjata dimaksud.
Lalu pertanyaan selanjutnya, bila Hautsi bersedia mundur ke basisnya di Provinsi Sa`dah pasukan mana yang akan mengisi kekosongan di ibu kota dan daerah-daerah yang ditinggalkannya. Tentunya masalah tersebut secara teknis dan lebih rinci dapat dibahas dalam pertemuan tersebut agar tercapai kesepakatan yang diterima semua pihak.
Situasi di Yaman menjelang pertemuan Jenewa masih menyimpan teka-teki akan kesudahan krisis di negeri itu. Hari-hari mendatang masih menyimpan banyak kejutan, meskipun yang ditunggu-tunggu rakyat dan masyarakat internasional adalah kejutan positif dari kota indah di Swiss itu.* (Ahad, 20 Sya`ban 1436 H).*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman