Hidayatullah.com–Seorang wanita berinisial WW (35), warga Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, melaporkan suaminya H yang melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Jabar, Senin (29/6/2015). Kasusnya diduga terkait pemaksaan keyakinan.
Di hadapan petugas kepolisian ia menceritakan kejadian kekerasan tersebut berlangsung Sabtu (09/05/2015) di kediamannya daerah Cimahi.
Awal mula kejadian sebelumnya, WW mengaku dipaksa oleh suaminya untuk mengikuti paham atau aliran Syiah yang dianut sang suami.
Namun WW menolak dengan alasan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang selama ini dipahaminya. Penolakan tersebut membuat H sedikit emosi hingga melakukan tindakan kekerasan kepada dirinya.
Tidak sampai di situ, tanpa sepengetahuan dan izin darinya, H malah pergi meninggalkan rumah sembari membawa anak semata wayang buah perkawinan mereka selama 4 tahun.
Hingga saat dilaporkan, H maupun anaknya tidak diketahui keberadaannya.
WW sempat mencari ke rumah kakak H, namun H dan anaknya tidak ada. Namun WW sempat menemukan atau melihat barang-barang milik anaknya ada di rumah kakaknya H.
Atas kejadian dan kondisi rumah tangganya tersebut, WW merasa ditelantarkan dan terganggu secara psikis hingga melaporkannya kepada aparat kepolisian.
Usai melapor, kepada awak media yang menemuinya WW menceritakan bahwa sebenarnya status hubungan kedua masih terikat sebagai suami istri. Namun ia mengaku setelah melaporkannya kepada pihak kepolisian ini, WW akan mengajukan gugat cerai.
Menurut WW, perbedaan keyakinan antara dia dan suaminya tersebut telah berlangsung sejak lama.
”Sebelum menikah secara resmi, dia dulu pernah ngajak nikah mut’ah. Dia menjelaskan caranya, nikah cukup berdua saja tanpa wali dan saksi. Namun saya tidak mau,” kenangnya didampingi beberapa pengurus Aliansi Nasional Anti-Syiah (ANNAS).
Setelah menikah, lanjut WW, banyak mendapati perbedaan soal ibadah dengan suaminya.
Ia mencontohkan suami susah diajak salat berjamaah dan selalu menunda shalat wajib, bahkan untuk salat Dhuhur dan Ashar biasa dijamak. Selain itu saat Ramadhan tiba sang suami enggan buka puasa bersama saat terdengar adzan Maghrib terdengar. Ia malah berbukanya saat menjelang salat Isya.
WW juga mengaku beberapa kali diajak suaminya untuk mengikuti kajian kelompoknya yang berlokasi di kawasan Jalan Kembar Kota Bandung. Dalam kajian tersebut juga dibahas seperti apa yang disampaikan oleh suaminya.
WW mengaku merasakan banyak kejanggalan dalam soal aqidah maupun fiqih, serta amalan yang lainnya. “Saya sendiri lebih cenderung ikut Salafi dan selama berumah tangga saya berusaha mengajak dan menyadarkan suami namun gagal,” ucapnya.
Puncaknya sekitar dua bulan lalu, H selain memaksa untuk mengikuti paham Syiah juga melakukan kekerasan kepada dirinya. Selain pergi dari rumah, H juga membawa anak satu-satunya yang masih berumur 3,6 tahun.
WW berharap masih bisa bertemu dengan anaknya, karena sangat khawatir dengan kondisinya yang masih membutuhkan kasih sayangnya.
“Sudah dua bulan ini saya tidak ketemu dengan anak saya. Saya curiga ini telah dikondisikan agar saya luluh dan ikut pahamnya. Saya tetap tidak mau,” ujarnya sambil terisak.
WW yang masih terlihat shock, belum bersedia bercerita panjang lebar tentang pengalaman atau kejadian selama hidup berumah tangga dengan H. Ia mengaku masih belum tenang karena belum bisa ketemu dengan anaknya, serta sedikit trauma dengan kejadian sebelumnya.
“Maaf saya belum bisa cerita banyak, saya ingin tenang dulu dan mengurus jalan keluar,” pungkasnya, sambil menuju halaman parkir didampingi beberapa tetangganya yang menjadi saksi pelaporan, serta Abu Muadz, Sekjen ANNAS dan Rizal Fadilah SH selaku Ketua Divisi Hukum ANNAS.*