Hidayatullah.com– Konsep zakat itu awalnya bersifat komsumtif agar mustahik (penerima zakat,red) tidak dalam kondisi kekurangan dan kelaparan. Tetapi, kemudian zakat diupayakan bersifat produktif untuk pemberdayaan bagi kesejahteraan masyarakat.
“Jadi, zakatnya itu bisa berkelanjutan bahkan bisa merubah dari mustahik menjadi muzakki (orang yang mengeluarkan zakat,red),” demikian dikatakan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH. Ma’ruf Amin kepada hidayatullah.com, belum lama ini.
Maka, kata Ma’ruf, sekarang pemberdayaan zakat itu tidak harus selalu bersifat konsumtif seperti bahan makanan dan lainnya. Tetapi, bagaimana kemudian para mustahik itu bisa produktif dengan cara memberdayakan zakat tersebut secara optimal.
“Artinya zakat bisa menjadi sumber penghidupan yang tidak habis dimakan maupun sumber pendapatan, misalnya dengan melatih para mustahik berdagang, sementara zakat dijadikan sebagai modalnya,” kata Ma’ruf.
Selain itu, Ma’ruf menjelaskan jika zakat dibagi menjadi dua yaitu zakat mal (harta,red) dan zakat fitrah (badan,red). Zakat fitrah, menurutnya, itu dikeluarkan pada akhir Ramadhan dan wajib bagi setiap orang yang mampu menunaikan.
“Hukumnya itu wajib kecuali bagi orang yang benar-benar tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah yang hanya 2,5 liter itu,” kata Ma’ruf.
Awalnya, kata Maruf lagi, zakat fitrah itu berupa makanan pokok, seperti di Arab itu biasanya zakat menggunakan gandum, sementara untuk di Indonesia zakat menggunakan beras. Tetapi, para ulama membolehkan zakat fitrah dihargai dengan sejumlah uang (diuangkan,red).
“Jadi per-liter beras harganya berapa, lalu dikalikan 2.5 liter dan itu yang dikeluarkan untuk zakat fitrah,” ujar Ma’ruf.
Menurut Ma’ruf, jika berzakat dengan beras teknisnya agak sulit serta tidak selalu sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan bagi para mustahik. Tetapi, jika zakat dalam bentuk uang bisa digunakan sesuai dengan kebutuhan para mustahik.
“Nah, untuk zakat maal wajib dikeluarkan jika telah memenuhi masa kepemilikan selama setahun (haul,red) serta telah mencapai jumlah tertentu (nisab,red),” kata Ma’ruf.
Menurut Ma’ruf zakat maal itu tidak mesti harus dikeluarkan pada bulan Ramadhan, sebab hitungan untuk mengeluarkan zakat mal jika telah meemnuhi syarat haul dan nisab.
“Tetapi umumnya orang mengeluarkan zakat itu menunggu sampai bulan Ramadhan karena mungkin pada bulan Ramadhan, zakat itu lebih banyak dibutuhkan oleh para mustahik,” pungkas Ma’ruf.*