Hidayatullah.com– Setiap tanggal 30 September merupakan hari yang menggemberikan sekaligus menyedihkan bagi penulis buku fenomenal, Habiburahman El-Shirazy.
Ia berbahagia, sebab itu merupakan tanggal kelahirannya. Sementara di sisi lain, tanggal 30 September selalu mengingatkannya pada tragedi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) tahun 1965.
“Jadi setiap kali masuk (tanggal) itu harus berulang tahun. Di saat yang sama saya harus selalu meneteskan air mata, untuk mendoakan para syuhada yang gugur oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab,” ungkapnya pada acara bedah buku kisah nyata kekejaman PKI berjudul Ayat-Ayat yang Disembelih.
Bedah buku tersebut berlangsung di JCC, Senayan, Jakarta, di hari peringatan G30S/PKI pada perhelatan Pesta Buku Internasional Indonesia (IIBF) 2016, baru-baru ini. [Baca: Peringati G30S/PKI, Buku Kisah Nyata Kekejaman Komunis Dibedah]
Ia mengungkap, tragedi G30S/PKI selalu menimbulkan kesedihan baginya terkhusus setiap berjumpa tanggal tersebut. Cerita tentang tragedi itu ia dapatkan langsung dari kakeknya, serta para guru dan kiainya.
“Tentang tragedi besar, tragedi luar biasa yang menimpa bangsa ini,” ujarnya.
Pria kelahiran Semarang, 30 September 1976 ini menyebut pelaku pembantaian itu sebagai “tangan-tangan yang tidak mengenal Tuhan dan kemanusiaan.”
Pembantaian Kiai
Ia pun mengungkap kisah nyata dibantainya para kiai di Pacitan, Jawa Timur oleh PKI, dinukil dari buku Tragedi G-30-S 1965 dalam Bayang-bayang Bung Karno yang dipegangnya saat itu.
“Kiai dan santrinya disembelih, mohon maaf, memang disembelih. Dimasukkan dalam sumur, oleh PKI. Dan mohon maaf, memang PKI, Muso (tokohnya. Red). Nyebut apa kalau bukan PKI kalau kita nyebut Muso saat itu? Sampai Soekarno mengatakan, ‘pilih Soekarno atau pilih Muso?’ saat itu,” ungkapnya yang berbicara penuh semangat.
Kang Abik mengatakan, tragedi pembantaian tersebut betul-betul nyata. Meminjam istilah dalam ilmu Hadits, kata dia, tragedi itu, “Mutawatir, itu nggak mungkin bohong,” tegas alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, jurusan Hadits ini.
Kang Abik mengatakan, hal itu harus diketahui oleh generasi bangsa saat ini.
Namun, menurutnya, mengungkap tragedi pembantaian oleh PKI, “Bukan untuk menyebarkan kebencian, sama sekali bukan itu.”
“Tetapi kadang-kadang (soal) sejarah memang kita harus bicara apa adanya,” ujarnya.
Hadir dalam bedah buku itu dua penulisnya, Anab Afifi dan Thowaf Zuharon, serta budayawan anti komunis Taufik Ismail. [Baca juga: Menolak Lupa, #G30SPKI Jadi Trending Topic]*