Hidayatullah.com — Di tengah kaum muslimin dunia tengah melaksanakan rangkaian ibadah haji saat ini, dosen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia Ade Armando yang juga pemimpin redaksi Madinaonline, mengatakan kewajiban ibadah haji yang dilakukan umat Islam harus ditinjau ulang.
“Melalui tulisan ini saya hendak mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali kewajiban umat Islam untuk naik haji,” kata Ade dalam artikel editorialnya dikutip hidayatullah.com, Kamis (27/08/2015).
Ia menyampaikan bahwa apa yang disebut sebagai kewajiban naik haji saat ini seharusnya bisa ditinjau kembali mengingat kepentingan masyarakat luas.
Soal kewajiban ibadah haji, Ade mengatakan Tuhan memberikan akal untuk berpikir dan kemampuan berpikir itu yang harus digunakan untuk menafsirkan apa yang dikehendaki Tuhan.
“Bila ajaran agama ternyata justru berkonsentrasi hanya pada kepentingan individu atau justru merugikan masyarakat, kita harus ragukan apakah ajaran agama itu memang datang dari Allah,” tulisa dia memandang kewajiban ibadah haji.
Dosen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia ini kemudian menyodorkan kalkuasi kenapa kewajiban ibadah haji bagi umat Islam harus dipertimbangkan ulang.
Alasan dia, untuk naik haji, uang minimal yang harus dikeluarkan seorang calon haji adalah sekitar 40 juta rupiah. Jumlah jamaah haji Indonesia tahun 2015 adalah 168 ribu orang.
Dengan demikian, kata dia, dana total yang dikeluarkan untuk ibadah haji pada 2015 adalah Rp 6,720 triliun. Itu dengan tidak memperhitungkan ONH plus.
Lebih jauh Ade juga menyodorkan argumen bahwa untuk umrah, biaya minimalnya per-orang adalah sekitar Rp 25 juta. Jumlah peserta umrah Indonesia pada 2015, sebut dia, diperkirakan 700 ribu jamaah. Dengan demikian dana total yang dikeluarkan untuk umrah adalah Rp 17,5 triliun.
Kata Ade, dengan perhitungan minimalis saja, uang yang terserap untuk kegiatan haji dan umrah per-tahun adalah sekitar Rp 6,7 triliun plus Rp 17,5 triliun, yakni sekitar Rp 24 triliun. Bila angka itu ditambah belanja jamaah selama di tanah suci, plus biaya ONH plus dan perjalanan wisata maka tidak berlebihan kalau angka itu melonjak menjadi sekitar Rp 30 triliun.
“Pertanyaannya, kalau dana itu digunakan untuk keperluan kesejahteraan masyarakat Indonesia, apa yang bisa dilakukan dengan Rp 30 triliun,” tanya dia.
Dana haji, menurut Ade, itu bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang jelas membawa efek berkelanjutan yang akan menyehatkan ekonomi Indonesia dan membantu kesejahteraan rakyat Indonesia.
Kata Ade, dalam kondisi ekonomi nasional yang sulit sekarang ini, menjadi terlihat semakin tidak pantas bila umat Islam terus menghabiskan dana puluhan triliun untuk kepentingan ibadah personal.
Umat Islam, menurut dia, harus berhemat dan pandai-pandai memanfaatkan uang yang ada untuk kepentingan bersama. Membantu orang miskin itu bukan urusan negara, melainkan urusan kita semua.
“Saya menganggap mungkin sebaiknya umat Islam saat ini tidak perlu menganggap naik haji sebagai kewajiban apalagi disertai dengan berumrah yang berkali-kali,” pungkas dia.
Pernyataan Ade Armando sontak saja mendapat kecaman publik. Salah seorang netizen di kolom komentar mengatakan ibadah haji lebih kepada pengalaman spiritual. Kecuali jika seorang non-muslim, wajar punya pendapat begitu dan sebaiknya tidak ikutan komentar soal urusan ibadah umat beragama lain.
“Haji itu wajib sekali seumur hidup, lainnya sunnah saja. Kewajiban haji tidak bisa digantikan dengan yang lain karena sangat personal sifatnya. Ini masalah pengalaman spiritual individu yang diharapkan memiliki ekses sosial dalam kehidupan sosialnya. Persoalan kemiskinan, kesejahteraan, ketidakadilan dan lain-lain saya sepakat, tapi tidak berarti harus merubah status hukum dari ibadah haji,” kata akun bernama Mas Aziz.
“Gimana sih, kata buat membangun duitnya ada. Tinggal mau kerja apa nggak. Ya udah yang mo berhaji mah biarin aja. Toh mensejahterakan rakyat adalah tugas pemerintah,” tulis Habriyani Radj Borra.
“Naik haji itu uang sendiri mas Ade, roda ekonomi berputar malah, dosen tapi logikanya kebalik balik,” ungkap AmShahu Arya.*