Hidayatullah.com – Pola asuh orangtua dinilai berpengaruh terhadap orientasi seksual anak. Sinyo Egie, penulis buku ‘Anakku Bertanya Tentang LGBT’ mengatakan sebelum seseorang menjadi LGBT (Lesbian, Homoseksual, Biseksual, Transgender), ada fase yang disebut sebagai Same Sex Attarction (SSA), yaitu kecenderungan ketertarikan sesama jenis.
SSA ini, tegas Sinyo, baru tahap kecenderungan atau ketertarikan. Tetapi justru dari sinilah kebanyakan LGBT berawal.
Menurutnya, SSA ini bisa terstimulus salah satunya akibat pola asuh yang salah.
“Ada tiga fase yang membentuk perilaku SSA, yakni usia balita (pembelokkan), 6-10 tahun (penguatan), dan 15 tahun keatas (pengkristalan),” jelas Sinyo pada Talkshow tentang penanganganan LGBT pada usia dini di Masjid As-Sakinah, Surabaya, Selasa, (10/11/20115).
Salah satu contoh kesalahan asuh orangtua pada fase balita di antaranya, kata Sinyo, adalah salah mengambil role model, yaitu perilaku orangtua atau hubungan ayah-ibu yang tidak sepatutnya dilihat anak. Sedangkan pada fase 6-10 tahun, kesalahan yang biasa terjadi diantaranya seperti keluarga yang tak harmonis, ayah yang otoriter dan cenderung kasar, dominasi ibu, terlalu dibiarkan (liar) dan sebagainya.
“Ada juga pola komunikasi atau sikap yang salah terhadap misalnya anak bungsu, anak sulung, anak yang perempuan atau laki-laki sendiri diantara saudaranya. Komunikasi dan sikap terhadap latarbelakang itu semua perlu dipahami,” paparnya.
Fenomena ayah yang kasar terhadap istri misalnya, sambung Sinyo, dapat membentuk persepsi anak yang antipati terhadap gender laki-laki, karena dinilai sebagai sosok yang kejam.
“Sehingga dalam pandangan anak bahwa laki-laki itu jahat, laki-laki itu menyakiti wanita. Akhirnya dia berpikir untuk tidak mau seperti laki-laki, karena melihat model yang demikian,” ujar pengurus Yayasan Peduli Sahabat ini.
Dan kesalahan yang juga biasa terjadi pada usia 15 tahun keatas diantaranya seperti Self Hypnosis, yaitu persepsi diri yang semakin menyeret anak untuk menegaskan dirinya mempunyai kecenderungan seksual yang berbeda.
“Kadang kita tidak faham men-judge anak kemayu misalnya, itu justru semakin menguatkan persepsinya. Jadi semakin dibully, semakin kuat karakternya bahwa ia merasa dirinya berkelainan kecederungan seksual,” pungkas pria kelahiran Magelang ini.
SSA sendiri menurut penelitian yang dilakukan Sinyo Egie, jumlahnya d Indonesia ada sekitar 2:35 atau sebanyak 14 juta orang lebih. Sedangkan homoseksual sekitar 1 dari 9 orang.*