Hidayatullah.com – Penanganan terduga teroris kembali menimbulkan persoalan yang mengundang banyak reaksi kontra terhadap kinerja Detasemen Khusus (Densus) Anti Teror 88. Dalam hal ini, Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Muhammadiyah, Mustofa B. Nahrawardaya menyatakan, setidaknya ada empat persoalan yang perlu diungkap.
Pertama, katanya, adalah soal anggaran yang kemungkinan berpengaruh terhadap perilaku personil termasuk seperti penangkapan dan penyiksaan kepada para terduga.
“Karena mungkin mereka lebih semangat sehingga kemudian anggarannya naik, gajinya naik, seolah-olah bisa berbuat seperti itu dan bisa dihargai dengan kenaikan tunjangan. Lagipula anggaran itu selama ini tidak pernah diaudit, baik densus maupun BNPT,” ujar Mustofa kepada hidayatullah.com usai mengisi Tabligh Akbar Alumni Haji di Auditorium RS Bani Saleh Jalan Kartini 66 Bekasi dengan tema masalah penanganan kasus terorisme, Ahad (20/03/2016).
Kedua, lanjutnya, soal represifitas yang walaupun memiliki kewenangan sebagai penegak hukum, tetapi seringkali pada prakteknya justru melanggar hukum.
“Kadang-kadang bahkan sebagian besar mereka (para personil Densus) tidak menerima surat perintah penahanan, dia diberikan itu setelah ditangkap, setelah diduga, dan kalau keluarganya tidak minta tidak pernah dikasih, ini kan melanggar. Jadi penegakan hukum dengan melanggar hukum pula, ini nggak boleh,” jelasnya.
Selanjutnya, Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) ini juga mempertanyakan soal sasaran dari Densus, apakah benar teroris atau justru adalah umat Islam.
“Sebenarnya sasaran mereka itu teroris atau umat Islam, ini perlu dijawab, karena selama ini yang tidak pernah terjawab adalah kenapa terorisme termasuk radikalisme selalu sasarannya adalah umat Islam,” ungkap Mustofa.
Ia menjelaskan, salah satu indikasinya, hampir seluruh penelitian terkait terorisme yang dilakukan para peneliti dalam rangka membantu tugas BNPT dan Densus, selalu umat Islam yang dijadikan objek.
“Entah itu rohisnya, gurunya, lembaganya, pokonya selalu umat Islam. Tidak pernah umat lain yang diteliti, padahal mereka tidak bisa berbuat seperti itu tanpa pemicu dari pihak lain,” paparnya.
Persoalan terakhir, terang Mustofa, menyangkut Tim Pengacara Muslim (TPM) yang biasanya mendampingi para terduga dalam menjalani proses hukum.
Ia menceritakan, tiga tahun lalu, TPM pimpinan Mahendradatta dan Achmad Michdan mengajukan peresmian sebagai organisasi berbadan hukum ke KUMHAM untuk membuat posisi TPM sebagai kelompok yang legal dan bisa mendampingi di berbagai tempat. Namun, kata dia, upaya ini ditolak.
“Ternyata baru sekarang katahuan, bahwa ada TPM-TPM lain. Padahal semua tahu kalau TPM pak Michdan dan Mahendradatta ini mendampingi para terduga yang belum tentu bersalah. Tapi karena didampingi oleh TPM-TPM yang tidak jelas, para terduga justru jadi bersalah di pengadilan,” ungkap Mustofa.
“Kenapa TPM palsu ini tidak bagus, karena mereka jarang sekali menemui wartawan, menemui Komnas HAM, termasuk mengkritik Densus 88, padahal jelas ada pelanggaran, kenapa sebagai lawyer tidak pernah melakukan advokasi terbuka,” pungkasnya.*