Hidayatullah.com– Untuk membangun kembali peradaban Islam yang benar, langkahnya haruslah merujuk kepada sistematika turunnya al-Qur’an. Karena dengan demikian, kajian yang dihasilkan akan objektif. Terhindar dari kepentingan pengkaji secara individu, ataupun kelompok.
Demikian dijelaskan Direktur Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya, Prof Dr Husein Aziz, di hadapan ribuan jamaah Hidayatullah Jawa Timur, dalam acara Silaturahim dan Nikah Barakah, di kampus pesantren itu di Surabaya, pekan kemarin (08/07/2017).
Dan bila dicermati secara historis, sambung Husein, maka didapati, hal pertama yang menjadi garapan Nabi Muhammad untuk membangun peradaban Islam itu, yaitu mengubah pola pikir masyarakat.
Hal itu dikarenakan segala perubahan yang ada di dunia ini, kata dia, hakikatnya bermula dari pikiran. Orang bergerak itu sesuai dengan pikirannya.
“Anta maa fakkarta (kamu adalah apa yang engkau pikirkan),” ungkap pria yang pernah memegang amanah sebagai Ketua PTI Luqman Al-Hakim (sekarang STAIL) ini.
Dan pada kenyataan, imbuhnya, berapa banyak orang terbunuh oleh pikirannya, sebelum kematian menjemputnya. Itu biasanya dialami oleh mereka yang cenderung memiliki pikiran negatif.
Untuk itu, Islam menuntun kaum Muslimin senantiasa berpikiran positif. Memiliki optimisme tinggi. Semangat menghadapi hidup. Pantang pesimis, sedih, putus asa. Itu semua, masih kata dia, haram hukumnya dalam Islam.
“Dan untuk mengubah pola pikir ini, tauhid menjadi kata kuncinya,” ungkap Husein.
Baca: Perlunya Membangun Peradaban Islam di Nusantara Berdasarkan Akhlak yang Tinggi
Karena itu, ayat-ayat pertama yang turun dari al-Qur’an, banyak yang menyinggung soal tauhid dan akhirat. Karena ini adalah perkara dasar untuk mengubah cara pandang.
Hanya kalimat ini, yang akan mampu membenahi pola pikir manusia secara benar, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri, tambah alumni Pondok Pesantren Sidogiri (PPS) ini, mampu tampil sebagai pemimpin umat manusia.
Karena, kata dia, Rasulullah bermodalkan pikiran besar, yang didasari nilai-nilai tauhid. Bukan dibentuk oleh kultur sosial, kekuatan ekonomi, atau kekuasaan.
“Untuk itu, kalimat la ilaha illalah (tauhid) harus dikaji secara berulang-ulang. Supaya pola pikir senantiasa mendapat pembaharuan,” jelas pengarang buku Bahasa Al-Qur’an Perspektif Filsafat Ilmu ini.*