Hidayatullah.com– Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (HMPI), Andi Fajar Asti, mengkritisi kebijakan pemerintah mengimpor beras sebanyak 500.000 ton di awal tahun 2018.
Andi Fajar mengatakan, kebijakan yang disampaikan oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita itu menuai polemik. Perhatian publik pun menjadi ramai.
Sebab, impor beras dinilai langkah yang kontraproduktif jika dibandingkan dengan janji Menteri Pertanian Amran Sulaiman untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara swasembada beras, dalam tempo setidaknya 3 tahun menjabat sebagai Menteri Pertanian.
Baca: Masalah-masalah Terkait Impor Beras Menurut Rizal Ramli
Andi Fajar juga mengkritisi Presiden Joko Widodo yang pada Desember 2014 lalu mengatakan, tiga tahun lagi -sejak saat itu, minimal ada swasembada beras. Kalau tidak, kata Jokowi, Menteri Pertanian akan dicopotnya. “Tapi saya yakin target ini bisa tercapai,” ujar Jokowi saat memberikan kuliah umum di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, kata Andi Fajar.
Namun nyatanya, lanjut Andi Fajar, genap 3 tahun lebih, Amran Sulaeman menjabat sebagai Menteri Pertanian belum mampu membuktikan janjinya. Bahkan selalu mengklaim sukses menjalankan program swasembada dan membanggakan diri di beberapa pertemuan.
Termasuk katanya saat kunjungan kerja November 2017 di Maros, Sulawesi Selatan, Menteri Pertanian mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara swasembada dan pengekspor beras ke negara lain. Dan bahkan katanya dengan lantang Menteri Pertanian mengatakan, Indonesia akan dikunjungi negara luar untuk belajar tentang swasembada beras.
“Nah, hadirnya kebijakan impor beras di awal tahun menjadi kado pahit di tengah pelbagai klaim kesuksesan Menteri Pertanian tersebut,” ungkap pria asal Sulawesi Selatan ini kepada hidayatullah.com, Selasa (16/01/2018) lewat pernyataan tertulisnya.
Baca: DPR: Kapasitas Produksi Sangat Besar, Mestinya Tak Perlu Impor Beras
Menurutnya, yang paling disayangkan adalah ketika publik mempertanyakan kebijakan impor dan menaruh curiga ada permainan di balik kebijakan ini adalah hal yang sangat wajar.
“Betapa tidak, pelbagai klarifikasi dan manuver yang dilakukan oleh Menteri Pertanian, Amran Sulaeman dalam merespons situasi menimbulkan kekecewaan,” ungkapnya.
Pertama, Menteri Pertanian merespons bahwa kebijakan impor adalah bentuk kecintaan pemerintah terhadap rakyatnya. Bahasa ini, kata Andi Fajar, menunjukkan ketidakseriusan Menteri Pertanian mengurus pertanian.
“Dan tentu sangat mengecewakan karena impor beras secara psikologis meragukan kemampuan petani kita sebagai produsen terdepan. Karena faktanya, justru stok beras menurut petani masih sangat memadai. Ini dibuktikan dengan banyaknya daerah yang menolak impor beras termasuk Sulawesi Selatan,” imbuhnya.
Kedua, Menteri Pertanian mengatakan bahwa impor beras ini adalah untuk stok kebutuhan industri bukan untuk konsumsi. Padahal di kesempatan lain, masih kata Andi Fajar, Menteri Pertanian terlanjur mengatakan bahwa impor 500.000 ton beras adalah untuk konsumsi selama 7 (tujuh) hari saja.
“Ini adalah sikap seorang Menteri Pertanian yang tidak konsisten dan kelihatan sangat miskin data,” ungkapnya.
Baca: Anggota Komisi IV: Impor Beras Bersamaan Musim Panen Tidak Bijaksana
Ketiga, upaya klarifikasi yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan dengan “pengawalan” dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Urusan Logistik (Bulog), dinilai bentuk kepanikan yang luar biasa atas respons publik yang mencurigai ada permainan antara importir dengan pemerintah.
“Karena proses impor di awal Menteri Perdagangan tidak menyebutkan akan melibatkan Bulog. Padahal secara aturan, Buloglah yang sangat relevan atas kebijakan ini. Kehadiran BPS dan Bulog adalah upaya untuk melegitimasi kebijakan yang terlanjur ‘offside‘,” ungkapnya.
Keempat, tambah Andi Fajar, impor dengan alasan kekurangan stok beras adalah bentuk ketidakberesan Menteri Pertanian merapikan produksi Gabah Kering Giling (GKG).
“Dari hitung-hitungan matematisnya, bukankah dengan luas lahan persawahan kita yang mencapai 16 juta hektare (menurut BPS) adalah hal yang sangat mudah untuk memproduksi GKG demi menutupi kebutuhan 250 juta penduduk Indonesia.
Karena cukup memaksimalkan produksi 5 – 6 ton GKG per hektare saja, maka kebutuhan beras untuk lebih kurang 1 (satu) liter beras setiap penduduk Indonesia per harinya dapat diwujudkan dan itu sudah lebih dari cukup,” paparnya.
Dengan demikian, Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan sebaiknya saling koordinasi dan berbicara dengan data yang jelas dalam mengeluarkan kebijakan.
Jika tidak, lanjutnya, miskinnya data dan ketidakakuratan data menteri akan merusak sistem pengelolaan negara ini.
“Juga wajib Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan saling koordinasi agar tidak kelihatan jalan sendiri-sendiri. Dan yang terpenting dalam pengambilan kebijakan adalah menteri boleh salah tapi tidak boleh bohong,” ungkapnya.
Diberitakan hidayatullah.com sebelunya, pemerintah mengaku menyesuaikan peraturan impor beras untuk membantu persediaan stok beras awal 2018.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, penyesuaian tersebut berdasarkan Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras oleh Pemerintah.
Darmin mengatakan Bulog akan ditugaskan mengimpor sampai dengan 500 ribu ton sesuai mandat Perpres Nomor 48 Tahun 2016, guna menstabilkan harga beras.
Darmin juga mengatakan hanya Bulog yang diberikan mandat untuk melakukan impor beras secara bertahap hingga 500 ribu ton.
Darmin mengatakan pemerintah meminta Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk menyelesaikan persoalan data terkait luas panen dan produktivitas beras yang selama ini belum terpadu.*