Hidayatullah.com– Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mengkritisi kebijakan Mendagri Tjahjo Kumolo menunjuk dua petinggi Polri sebagai penjabat/pelaksana tugas (Plt) Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara.
“PSHTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan bahwa jabatan penjabat Gubernur dari unsur kepolisian bertentangan dengan UU Pilkada dan konstitusi RI, serta berdampak pada pudarnya netralitas Polri sebagai amanat dari reformasi,” ujar Kepala PSHTN FHUI Mustafa Fakhri dalam pernyataannya di Jakarta baru-baru ini diterima hidayatullah.com, Ahad (28/01/2018).
Paparnya, pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak telah diselenggarakan sejak tahun 2015 dengan beragam kendala dan keberhasilan yang dapat dijadikan pelajaran.
Pada perhelatan Pilkada 2018 ini, sebanyak 171 daerah, yang terdiri atas 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten, akan menyelenggarakan Pilkada serentak pada tanggal 27 Juni 2018. Beberapa provinsi di antaranya adalah Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Baca: PSHTN FHUI: Plt Gubernur dari Polri Bertentangan dengan UU Pilkada
Khusus kedua provinsi tersebut, masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur akan habis pada 13 Juni 2018 untuk Jawa Barat dan 17 Juni 2018 untuk Sumatera Utara. Dengan demikian, maka terdapat kekosongan jabatan untuk Gubernur dan Wakil Gubernur di kedua provinsi tersebut.
“Kekosongan jabatan dimaksud, sesungguhnya juga telah diatur di dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada (UU Pilkada) bahwa dalam terjadi kondisi yang demikian, akan diangkat penjabat Gubernur,” jelasnya.
Di dalam Pasal 201 ayat (10) disebutkan, posisi penjabat Gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jabatan pimpinan tinggi madya ini merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berasal dari pemerintah pusat atau daerah yang bersangkutan.
“Namun, secara mengejutkan, Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengeluarkan wacana untuk menjadikan unsur kepolisian sebagai pelaksana tugas atau penjabat Gubernur untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut, baik disebabkan petahana yang cuti mengikuti Pilkada maupun karena berakhirnya masa jabatan kepala daerah sebelum pilkada berlangsung,” ungkap Mustafa.
Baca: Petinggi Polri Jadi Plt Gubernur, Jokowi Didesak Tak Terbitkan Keppres
Padahal, terangnya, amanah reformasi tegas menyatakan di antaranya untuk menghapuskan dwifungsi ABRI. Maknanya, tidak hanya untuk memastikan netralitas TNI sebagai pemegang kuasa konstitusional yang menjaga pertahanan negara, tapi juga netralitas Polri yang bertanggung jawab terhadap keamanan negara, dari segala aktivitas politik.
“Reformasi yang telah berhasil memisahkan dan menjaga netralitas kedua institusi tersebut, seyogianya tidak ditarik mundur oleh penguasa sipil,” tandasnya.*