Hidayatullah.com– Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menyatakan, jabatan penjabat gubernur dari unsur kepolisian bertentangan dengan UU Pilkada dan konstitusi RI serta berdampak pada pudarnya netralitas Polri sebagai amanat dari reformasi.
Pernyataan tersebut didasarkan pada sejumlah hal. Pertama, jabatan pelaksana tugas atau penjabat gubernur harus berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil sebagaimana diatur di dalam Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada.
“Wacana Mendagri untuk menunjuk perwira tinggi Polri yang masih aktif sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara merupakan wacana yang tidak berdasarkan hukum yang justru telah mencederai semangat reformasi,” ujar Kepala PSHTN FHUI Mustafa Fakhri dalam pernyataannya di Jakarta baru-baru ini diterima hidayatullah.com, Ahad (28/01/2018).
Baca: PSHTN FHUI: Plt Gubernur dari Polri Bertentangan dengan UU Pilkada
Kedua, Mendagri merujuk kepada Permendagri No 1/2018 tentang cuti di luar tanggungan negara bagi kepala daerah, namun Permendagri tersebut justru bertentangan dengan materi muatan UU Pilkada.
Di dalam Pasal 4 ayat (2) Permendagri tersebut memuat norma yang menyatakan bahwa yang menjadi penjabat Gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat/provinsi.
“Dari dasar inilah kemudian Mendagri mengasumsikan bahwa perwira tinggi Polri merupakan jabatan yang setingkat dengan pimpinan tinggi madya. Padahal, di dalam ketentuan UU Pilkada telah diatur secara limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang dapat menjadi penjabat gubernur,” jelas Mustafa.
Ketiga, tambahnya, wacana menjadikan perwira tinggi Polri yang masih aktif untuk menjadi pelaksana tugas atau penjabat gubernur merupakan langkah mundur proses reformasi yang telah bergulir selama hampir 20 tahun ini.
Sebagaimana, jelasnya, disebutkan dalam Pasal 28 ayat (1) dan (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan apabila terdapat anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian, maka itu dapat dilakukan setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
“Artinya, bila Mendagri ingin mengusulkan perwira tinggi sebagai pelaksana tugas atau penjabat gubernur harus mengusulkan polisi yang telah pensiun atau telah mengundurkan diri dari dinas kepolisian. Dengan demikian, netralitas Polri tetap terjaga dan tidak menimbulkan ‘dwifungsi’ Polri sebagaimana dwifungsi ABRI pada zaman Orde Baru,” terangnya.
Baca: DPR Kritisi Dua Jenderal Polri Ditunjuk Jadi Plt Gubernur
Keempat, PSHTN FHUI mengungkapkan, penunjukan pelaksana tugas atau penjabat gubernur dari unsur kepolisian secara tidak langsung menjadikan daerah tersebut nyaris serupa dengan daerah darurat sipil.
Bila mengacu kepada UU Nomor 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya, maka diatur mengenai darurat sipil. Di dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa Presiden menetapkan Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) yang terdiri atas Kepala Daerah yang dibantu oleh seorang komandan militer tertinggi, seorang kepala Polri, dan seorang pengawas/kepala kejaksaan di daerah tersebut.
“Padahal, seperti diketahui bahwa Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara sedang dalam kondisi damai serta terkendali, tanpa potensi gangguan keamanan. Oleh karena itu, PSHTN menganggap bahwa wacana Mendagri tersebut justru berpotensi menimbulkan suasana yang tidak kondusif untuk berlangsungnya pilkada di daerah yang bersangkutan,” ungkapnya.
Atas pertimbangan tersebut, PSHTN FHUI mendesak Presiden Joko Widodo untuk tidak menerbitkan Keputusan Presiden (Keprres) mengenai pelaksana tugas atau penjabat gubernur dari kalangan non-sipil (TNI/Polri).
Baca: Anggota TNI-Polri Aktif Diingatkan Tugasnya bukan Berpolitik
Hal ini agar semangat reformasi yang mengutamakan supremasi sipil dan telah berlangsung selama hampir 20 tahun ini tetap terjaga.
PSHTN FHUI juga mengingatkan kembali kepada Pemerintah untuk senantiasa mengelola negeri ini sesuai dengan koridor hukum yang berdasarkan Konstitusi.
“Jangan sampai kebijakan yang diputuskan oleh Pemerintah justru menghidupkan kembali rezim otoritarianisme baru dan mematikan kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia,” pungkasnya.*