Hidayatullah.com– Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono Sepuluh, mengimbau Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta, mempertimbangkan lagi apabila memang ada larangan bagi mahasiswi untuk bercadar.
Dia menyebut, tidak ada aturan yang melarang penggunaan cadar di kampus di kampus tersebut.
Ia berharap agar dibuat tim untuk bisa membuka dialog dengan para mahasiswi yang bercadar, bukan dengan melakukan pelarangan.
“Sekarang itu bagaimana ada tim yang bisa membangun dialog bagi mereka yang bercadar, bukan tidak boleh, belum ada itu,” ujarnya di Yogyakarta lansir kantor berita Antara, Jumat (09/03/2018).
Baca: UIN Suka Yogyakarta Cabut Larangan Cadar, Ini Alasannya
Sementara itu, Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi (Apperti) menolak keras pelarangan bercadar bagi mahasiswi di kampus karena melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945.
“Larangan bercadar di kampus nyata melanggar konstitusi negara dan Pancasila sila Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujar Sekjen APPERTI Taufan Maulamin melalui siaran pers diterima di Jakarta, Jumat.
Selain itu, Taufan menilai melarangan bercadar juga telah mencoreng reputasi pendidikan di Indonesia, terutama di tengah kerusakan moral, gaya hidup tidak beradab dan pergaulan bebas yang marak terjadi.
Menurut Taufan, menyamakan cadar dengan radikalisme merupakan tindakan yang anti-Pancasila karena melanggar sila pertama. Banyak mahasiswi bercadar yang justru mendapatkan prestasi luar biasa di kampus, contohnya di Universitas Negeri Solo Sebelas Maret (UNS).
“Di UNS, pada wisuda 24 Februari 2018, mahasiswi bercadar meraih predikat cumlaude. Itu membuktikan tidak ada hubungan antara cara berpakaian dengan prestasi akademik,” tuturnya.
Taufan menilai hal itu menunjukkan Rektor UNS Prof Ravik Karsidi terbukti mampu mengelola semangat beragama mahasiswi bercadar untuk meraih prestasi, sehingga perlu mendapat penghargaan sebagai pendidik tulen.
“Larangan bercadar menunjukkan kemunduran berpikir serta menikam ajaran agama. APPERTI akan melakukan advokasi kepada siapa pun yang tidak mendapatkan hak asasinya, khususnya hak beragama,” ujarnya.
Larangan Bercadar Dinilai Arogan
Larangan memakai cadar dan jilbab yang diterapkan oleh sebuah institusi pendidikan di Indonesia dianggap sebagai tindakan yang arogan dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
“Menanggapi keputusan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengenai larangan bercadar bagi mahasiswi, tentunya itu kebijakan yang sangat arogan karena telah merampas hak perempuan dalam berbusana,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Dakwah dan Syiar Islam The AHY Institute di Jakarta, Jumat.
Ia justru menyesalkan busana yang ketat dan minim sepanjang dianggap memenuhi norma kesopanan cenderung lebih diperbolehkan agar dianggap tidak memiliki ancaman radikalisme.
Padahal batasan norma kesopanan juga dianggap Arif tidak baku dan tidak jelas.
Baca: Lagi, UIN Sunan Ampel Surabaya Tak Bolehkan Mahasiswi Bercadar
Menurut dia, jika pelarangan menggunakan cadar terkait dengan alasan kekhawatiran pada gerakan anti-NKRI hal itu cenderung merupakan persoalan yang berbeda.
“Kalau mahasiswi yang bercadar dianggap terkesan ekslusif, terindikasi anti-NKRI atau anti-Pancasila, tentu ini bagian berbeda, tugas kampus seyogianya melakukan pembinaan dan pemahaman tentang nasionalisme. Bukan dengan cara merampas hak perempuan dalam berbusana,” ujar alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Ia menegaskan, tidak ada aturan baku di Indonesia yang berhak untuk mengatur cara berpakaian warganya.
“Bahkan dari sisi kajian antropologi cadar itu sudah ada sejak dulu, bahkan umat Yahudi ortodok masih memakai sampai saat ini,” menurutnya.
Arif berpendapat memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekadar budaya Timur-Tengah atau Arab.
Sebagian meyakini bahwa ajaran Islam mewajibkan perempuan untuk menutup aurat, sehingga perempuan Islam memilih hijab termasuk di dalamnya cadar untuk mengikuti ajaran agamanya.*