Hidayatullah.com– Setelah libur panjang Lebaran 2018, nilai tukar rupiah terus melemah. Jumat kemarin, nilai tukar rupiah jadi Rp 14.325 per dolar AS.
Menurut peneliti INDEF, Bhima Yudhistira, pelemahan rupiah tidak bisa dimaklumi. Sebab investor tidak percaya dengan kondisi internal ekonomi Indonesia.
“Kalau ekonomi Indonesia solid, investor tetap betah di Indonesia meskipun tekanan globalnya naik. Contohnya selama 1 tahun terakhir ringgit Malaysia justru menguat terhadap dolar AS. Padahal Malaysia sempat mengalami kisruh politik,” ujarnya saat dihubungi hidayatullah.com, Jumat (29/06/2018).
Bhima menambahkan, faktor lain yang membuat rupiah melemah adalah dominannya investor asing di pasar keuangan dalam negeri.
“40 % utang dipegang asing, jadi sangat sensitif ke stabilitas ekonomi,” katanya.
Mengenai langkah BI menaikkan suku bunga acuan, menurut Bhima, efek bunga acuan hanya sementara dan masih kalah dengan sentimen faktor global.
“Meskipun di atas ekspektasi pelaku pasar karena naik 50 bps (basis poin), belum mampu menguatkan kurs rupiah sesuai target. Ini terlihat dari rupiah yang masih melemah di level 14.325 pada penutupan hari ini (29/06/2018),” katanya.
Kondisi ini, kata Bhima, juga menjadi peringatan bahwa bunga acuan tidak bisa dijadikan solusi tunggal penguatan kurs rupiah.
“Harus ada kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang terukur dan tepat sasaran,” tegasnya.
Misalnya, ia mencontohkan, membuat paket tentang stabilisasi kurs dengan perbanyak insentif bagi sektor penguat devisa.
“Jadi bentuknya harus lintas sektoral sehingga dampak ke penguatan rupiah langsung terasa,” pungkasnya.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, memandang lemahnya rupiah ini masih bisa “dimaklumi” karena kencangnya tekanan pasar keuangan, menyusul ekspektasi empat kali kenaikan suku bunga The Federal Reserve. Selain itu, rupiah juga tertekan oleh arah kebijakan normalisasi Bank Sentral Eropa.
“Selama libur itu terjadi kenaikan mata uang global. Semua mata uang juga melemah, jadi tidak usah kaget,” kata Perry kemarin dikutip Antara. Ia menganggap lemahnya rupiah ini masih wajar karena level depresiasinya tidak lebih dibanding negara-negara “emerging markets” lain.* Andi