Hidayatullah.com– Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bireuen, Athaillah A Latief menyangkal stigma wahabi yang dialamatkan suatu kelompok keagamaan di Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh kepada Muhammadiyah.
“Muhammadiyah bukanlah wahabi,” tegasnya saat dihubungi hidayatullah.com, Selasa (03/07/2018).
Dalam konteks gerakan pembaharuan, terangnya, Muhammadiyah memang menyatu dengan gerakan pembaharuan Islam yang ada di Timur Tengah.
“Tapi tidaklah sama. Punya ciri sendiri-sendiri,” katanya.
Cirinya, kata Latief, dalam memahami Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah, Muhammadiyah tidak terikat aliran teologis, madzhab fikih, dan tariqat sufiyah apapun.
“Walaupun secara de facto termasuk ahlussunnah,” ujarnya.
Baca: Muhammadiyah Bireuen: Stigma Wahabi, Akar Masalah Penolakan Masjid At-Taqwa
Muhammadiyah, lanjutnya, menganut fikih manhaji, mementingkan dalil ketimbang pendapat. Paham agama dalam Muhammadiyah bersifat independen, komprehensif, dan integratif.
Muhammadiyah mencirikan diri sebagai gerakan tajdid (pembaharuan) yang tajdid-nya meliputi purifikasi (pemurnian) dalam aqidah dan ibadah, serta dinamisasi dalam bidang muamalah. “Keduanya harus seimbang,” tegasnya.
Muhammadiyah, masih kata Latief, memposisikan diri sebagai Islam moderat, tidak radikal, dan tidak liberal.
“Muhammadiyah itu berkemajuan, dalam artian berorientasi kekinian dan masa depan. Bukan modernis, bukan tradisionalis,” jelasnya.
Kaitannya dengan penolakan pembangunan Masjid Taqwa di Desa Sangso, Samalanga, kata Latief, “Kalau disebut membuka potensi konflik dan perpecahan, maka jelas sekali kehadiran Muhammadiyah adalah untuk dakwah dengan prinsip bil hikmah, al mau’idlah al-hasanah, serta al-mujadalah al-ahsan.”
Ia menuturkan, Muhammadiyah sudah hidup puluhan tahun di di Samalanga. “Bukan pendatang baru. Jauh sebelum-sebelum ada tokoh-tokoh sekarang dan menyebut-nyebut istilah aswaja. Tokoh-tokoh Muhammadiyah dulu juga membangun sekolah-sekolah dan pesantren-pesantren di Samalanga.”
Selama ini, kata Latief, Muhammadiyah tidak pernah membuat konflik serta memecah belah masyarakat. Tgk Yahya, Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Samalanga dan sekaligus ketua panitia pembangunan Masjid Muhammadiyah di Desa Sangso, Samalanga, adalah salah satu tokoh yang sudah lama mengabdikan diri di Samalanga.
Baca: Muhammadiyah Akui Isu Wahabi Digunakan sebagai Amunisi Memojokkan Kelompok Lain
“Lebih dari 30 tahun beliau mengajar ngaji di Meunasah Sangso seminggu 2 kali, di Desa Pante Rheng seminggu sekali, dan pengajian di rumahnya. Semua berjalan aman. Tidak ada konflik apapun, kecuali ada perbedaan pemahaman hal-hal kecil yang bukan prinsip. Dan hal ini tidak mengganggu ukhuwah,” ungkapya.
Alasan penolakan pembangunan Masjid At-Taqwa karena tidak didukung masyarakat, juga disangkal Latief.
Baca: Muhammadiyah: “Jangan Jadikan Stigma Wahabi sebagai Komoditas Politik”
“Faktanya dana pembebasan tanah yang diwakafkan tunai oleh masyarakat bisa terkumpul hampir Rp 700 juta dalam setahun, dari masyarakat Sangso, Pante Rheng, Rheum Barat, Rheum Timur, Melik, Kandang, Gampong Baro, Blang Kuta, Blang Mangat. Semuanya adalah pendukung berdirinya Masjid Taqwa Muhammadiyah Samalanga,” bebernya.
Dalam menghadapi permasalahan termasuk ketidaksukaan pihak lain, “prinsip Muhammadiyah adalah mengajak berdialog, tidak membalas dengan emosi. Inilah di antara manhaj Muhammadiyah,” pungkasnya.* Andi