Hidayatullah.com– Berbagai kasus persekusi dan pengadangan terhadap gerakan maupun deklarasi #2019GantiPresiden ditengarai menjadi “senjata makan tuan” bagi Presiden Joko Widodo.
“Secara psikologi politik, adanya pengadangan dan persekusi terhadap gerakan ini, semua ini akan menjadi boomerang (bumerang) dan merugikan buat Pak Jokowi sendiri,” ujar Lutfi Sarif Hidayat,
Direktur Civilization Analysis Forum (CAF), kepada hidayatullah.com Jakarta, Selasa (27/08/2018).
Baca: Inisiator #2019GantiPresiden Menghormati Aksi Lain Meski Berbeda
Secara sadar ataupun tidak, ia menilai gerakan #2019GantiPresiden akan semakin membesar dan meyakinkan masyarakat bahwa siapa sesungguhnya yang otoriter dan siapa yang intoleransi.
Lutfi pun mengajak berbagai pihak untuk melihat gerakan #2019GantiPresiden sebagai sebuah otokritik buat pemerintah.
“Pemerintah atau Pak Jokowi misalkan jangan baper. Toh anda membuat deklarasi #Jokowi2Periode buktinya aman-aman saja,” ungkapnya.
Baca: #2019GantiPresiden Dipersekusi, Amnesty Nilai Negara Melanggar HAM
Artinya, terhadap sikap berlebihan dari aparat atas adanya pengadangan dan persekusi terhadap aksi #2019GantiPresiden di berbagi wilayah, Jokowi diminta harus bertindak.
“Bersikaplah!” ungkap Lutfi.
Menurutnya, salah satu masalah mendasar dari Indonesia adalah alergi dan takut dengan kritik. Problem ini melanda siapapun termasuk para elit pejabat publik.
“Mereka mungkin masih memiliki persepsi kritik sebagai bahaya yang akan menjatuhkan. Sehingga ketika ada kritik yang masuk pada diri kita, seakan kita sedang dihakimi dan dijatuhkan, dan mungkin sampai martabatnya,” paparnya.
Baca: Komnas HAM: Persekusi #2019GantiPresiden Melanggar HAM
Lebih jauh, ia menerangkan. Kritik itu positif asalkan tiga syarat ini terpenuhi.
Pertama, yang dikritik harus mawas diri bahwa dirinya bukan orang yang sempurna. Selalu ada kesalahan pada dirinya. Baik dia bukan pejabat publik sampai dia seorang presiden sekalipun.
“Artinya yang dikritik itu harus punya sikap berprasangka baik atau positive thinking. Bahwa kritikan padanya itu untuk menyadarkan jika harus ada yang dibenahi.
Ucapkan terima kasih kepada yang mengkritik. Bukan sebaliknya, malah marah-marah dan melakukan pembelaan. Karena bisa jadi yang dikritik memang benar-benar secara faktual dirasakan masyarakat kebanyakan. Jadi mawas diri saja dan berfikir positif,” terangnya.
Baca: Mardani: #2019GantiPresiden Merupakan Pendidikan Politik
Kedua, bagi yang mengkritik gunakanlah ruang terbuka ini untuk melihat kekurangan atau kesalahan yang substansi. Kritik kebijakan dari pejabat publik bukan menyerang pribadi orangnya. Kritik bisa dengan pendekatan apakah janji-janji kampanyenya ditepati atau tidak. Kebijakan yang dikeluarkan apakah sesuai regulasi dan menguntungkan khalayak. Dan poin-poin substansi lainnya.
“Sehingga kritik itu didasarkan pada data dan bahkan riset. Artinya berdasar dari sesuatu yang rasional, bukan emosional,” terang Lutfi.
Ketiga, bagi masyarakat atau yang di luar dari pengkritik ataupun yang dikritik, harus bersikap objektif, bukan ikut provokatif.
“Kalian berhak menentukan sikap apakah sepakat atau tidak sepakat dengan sebuah kritikan. Namun tetap jaga keadaban dan tetap rasional,” imbuhnya.*
Baca: DPD Desak Jokowi Respons Kasus Persekusi #2019GantiPresiden