Hidayatullah.com– Sejarawan Alwi Alatas menceritakan, Isra’ Mi’raj adalah satu peristiwa penting yang berlaku sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah.
Ketika itu Nabi diberangkatkan dari Makkah ke Masjidil Aqsha di kota Iliyya (nama bagi Yerusalem/Baitul Maqdis ketika itu) dan setelahnya dinaikkan ke langit hingga ke Sidratul Muntaha. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap Rabb-nya dan menerima perintah shalat secara langsung.
“Perjalanan ini pada saat yang sama juga memberi nilai simbolis pada aktivitas seorang Muslim saat melakukan shalat. Sehingga dikatakan bahwa shalat itu adalah mi’raj-nya orang-orang yang beriman,” ujar Alwi kepada hidayatullah.com Jakarta pada Kamis (04/04/2019).
Dosen sejarah Islam International Islamic University Malaysia (IIUM) ini menerangkan, ada perbedaan pandangan tentang waktu terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj.
Tetapi, kata Alwi, umumnya disepakati bahwa waktunya pada tahun-tahun menjelang hijrah Nabi.
“Al-Manshurfury, sebagaimana disebutkan dalam kitab Sirah yang ditulis oleh al-Mubarakfury, berpendapat bahwa peristiwa ini terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun 10 kenabian,” kata peneliti INSISTS ini.
27 Rajab kemudian menjadi tanggal yang diterima umum dan menjadi waktu diperingatinya Isra’ Mi’raj oleh banyak kaum Muslimin di dunia, termasuk di Indonesia dan Malaysia.
“Menariknya, Allah memberi kemenangan pada Salahuddin al-Ayyubi serta keberhasilan dalam merebut kembali kota al-Quds (Yerusalem) juga pada 27 Rajab, tepatnya pada hari Jumat, 27 Rajab 583 H, bertepatan dengan 2 Oktober 1187,” kata Alwi.
“Karena itu, selain merupakan tanggal bagi peringatan Isra’ Mi’raj, tanggal 27 Rajab sebetulnya dapat dianggap pula sebagai Hari al-Quds bagi dunia Islam.”
Alwi menuturkan, sebagian ilmuwan di dunia Islam pada era modern ini ada yang merasa kurang percaya diri (PD) dalam menyampaikan kisah Isra’ Mi’raj, ataupun berbagai mukjizat Nabi yang lain, karena mungkin dipandang kurang sejalan dengan perkembangan masyarakat yang sudah serba rasional sekarang ini.
Mereka, kata Alwi, lantas mereduksi mukjizat Nabi menjadi hanya berkenaan dengan al-Qur’an saja, atau setidaknya cenderung mengecilkan mukjizat-mukjizat lainnya yang diceritakan di dalam kitab-kitab sirah.
“Hal ini tampak misalnya pada karya Muhammad Hussein Heikal tentang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Bagaimanapun, hal ini ditolak oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud di dalam artikelnya, “The Timelessness of Prophet Muhammad and the Nature of Virtuous Civilization”. Mukjizat-mukjizat itu, sebagaimana beliau tulis, berfungsi sebagai dukungan Ilahiah bagi Nabi dan para Sahabat pada masa-masa sulit, di samping juga memperkuat hati mereka yang sebenarnya sudah beriman,” ucapnya.
Kisah Isra’ Mi’raj, kata Alwi, sebetulnya bukan tanpa pengaruh terhadap peradaban Barat. Seperti seorang penyair terkenal Italia Abad Pertengahan, Dante Alighieri (w. 1321), yang menggambarkan suasana neraka dan surga di dalam karyanya yang terkenal “Divine Comedy”.
“Di dalam karyanya itu, celakanya, ia menggambarkan Nabi Muhammad dan Ali dihukum di neraka (inferno),” kata Alwi. “Bagaimanapun akhirnya diketahui bahwa narasinya itu banyak mengambil dari penggambaran neraka dan surga yang terdapat di dalam kisah Isra’ Mi’raj.”
Alwi mengungkap, narasi peristiwa itu rupanya telah diterjemahkan pada paruh kedua abad ke-13 menjadi Liber Scale Machometi. Di samping budaya Arab juga telah dikenal luas ketika itu di Tuscany, Italia.
Hanya saja, kata Alwi, sebagaimana dijelaskan Bilquees Dar dalam “Influence of Islam on Dante’s Divine Comedy”, Dante memiliki pandangan negatif terhadap Muslim dan tidak menyukai kenyataan akan luasnya pengaruh Islam ketika itu.
Terlepas dari itu semua, menurut Alwi, warisan terpenting dari peristiwa Isra’ Mi’raj bagi kaum Muslimin adalah ibadah shalat.
“Ini adalah saat-saat ketika seorang Muslim bersimpuh ke hadapan Rabb-nya, lima kali sehari. Ini adalah ibadah utama yang menjadi tiang utama bagi individu, masyarakat, dan peradaban Muslim, sesuatu yang tidak selaiknya ditinggalkan atau dijalani tanpa kesungguhan,” tegasnya.
“Jika tidak melalui ibadah ini kita mengharapkan pertolongan dari-Nya, maka dengan apalagi kita bisa mengharapkannya?”* Andi