Hidayatullah.com– Viral kasus penganiayaan anak di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), telah menyita perhatian publik. Pemberitaan terhadap kasus dimaksud terus berlangsung melalui berbagai media cetak, online, maupun elektronik.
Menyikapi kasus ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, pertama, agar tidak menimbulkan informasi yang simpang siur sehingga berpotensi merugikan anak dan rentan menjadi “secondary victim”, baik anak korban maupun pelaku, KPAI berharap semua pihak menghormati proses penyidikan yang sedang dilakukan kepolisian.
“Sehingga tidak terjadi persepsi yang salah terkait pelaku maupun korban, dan semua anak yang terlibat diproses sesuai ketentuan UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,” ujar Ketua KPAI Susanto di Jakarta baru-baru ini dalam siaran persnya diterima hidayatullah.com, Jumat (12/04/2019).
Baca: Tindak Penganiaya Remaja di Pontianak sesuai UU Perlindungan Anak
Kedua, KPAI mengatakan, pemerintah daerah melalui dinas terkait harus memastikan upaya rehabilitasi yang tuntas kepada korban, penyediaan pendampingan hukum, psikososial dan mengambil langkah-langkah untuk mencegah agar korban dan pelaku tidak mendapat stigma dan perlakuan salah akibat viralnya berita tersebut.
“Semua pihak agar tidak menyebarkan/menviralkan identitas korban dan pelaku, agar yang bersangkutan tidak mendapatkan stigma negatif dan berdampak kompleks. Penyebaran identitas korban dan pelaku merupakan pelanggaran hukum,” tambahnya.
Menurut UU 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 19 (1) Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. (2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orangtua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi. Sedangkan Pasal 97 ditegaskan bahwa Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), paparnya.
KPAI meminta agar seluruh satuan pendidikan meningkatkan upaya preventif, membangun sinergi antara sekolah, orangtua dan masyarakat, untuk memastikan anak tumbuh karakternya dengan baik, melakukan deteksi dini secara tepat agar anak tidak rentan menjadi pelaku aktifitas menyimpang.
Kelima, KPAI mengatakan, orangtua perlu meningkatkan perhatian dan kualitas pengasuhan keluarga, agar anak tumbuh menjadi pribadi yang unggul, mengisi hari-harinya dengan aktifitas positif dan memiliki visi ke depan.
Terakhir, seiring dengan pesatnya dunia digital, dewasa ini anak rentan terpapar dampak negatif dan mengimitasi perilaku yang tak pantas bahkan melanggar hukum.
“Maka satuan pendidikan dan keluarga perlu meningkatkan pengetahuan digital dalam mencegah dan selalu mengingatkan anak tidak menyalahgunakan media sosial pada aktifitas negatif, seperti bullying dan bentuk pemanfaatan negatif lainnya, sehingga anak tetap dalam koridor yang positif dalam memanfaatkan dunia digital,” pungkasnya.*